Selasa, 30 November 2010

Guangzhou, Perjalanan Pertama ke Cina

Walau sudah puluhan negara saya datangi, tapi negeri raksasa Cina belum saya kunjungi. Begitulah ketika ada kesempatan berkunjung ke sana sehubungan dengan Asian Games, tidak saya sia-siakan. Walau bukan ke Beijing, ibukota Cina, tapi ke Guangzhou, suasana Cina terasa kental.

Apalagi mereka ingin menjadi tuan rumah yang sukses. Meski negeri komunis, tapi keramahan tetap muncul di antara masyarakat di sana, terlebih adalah para sukarelawan yang datang dari kalangan pelajar. Tidak kurang 500.000 sukarelawan dilibatkan oleh pemerintah Guangzhou untuk mensukseskan pesta olahraga se Asia itu. Di akhir acara, upacara penutupan diisi oleh permainan warna dan laser maupun gambar dan dekor yang apik. Lagu asal Batak, A Sing Sing So, berkumandang mengiringi tampilan wakil-wakil negara Asia Tenggara.

Perjalanan ke Guangzhou memang tak banyak untuk dilakoni untuk jalan-jalan. Paling-paling tengak tengok Beijing Road yang dikenal dengan pusat perbelanjaannya. Kegembiraan kesuksesan Indonesia meraih target 4 emas di Asian Games sangat menonjol apalagi saya termasuk rombongan Menpora Andi Mallarangeng, yang walau tangan berbalut karena cedera bahu, masih mendorong atlet-atlet Indonesia sampai akhir pesta olahraga.

Bravo Indonesia!

Kamis, 05 November 2009

CIPANAS

Inilah tempat yang sejak 1997 menjadi area ketiga saya yang sering dikunjungi. Lahir di Jakarta dan masih punya tempat peninggalan di bilangan Serdang, Bendungan Jago, Kemayoran. Tempat tinggal sehari-hari di Kranggan, Jati Sampurna, Bekasi. Sementara itu, untuk mencari hawa dingin nan tenang, Cipanas, Jawa Barat, lah tempatnya.

Tempatnya tidak di pusat kota Cipanas yang ada Istana Presiden dan pasarnya. Paling-paling sekitar 10 kilometer dari sana. Tepatnya di komplek perumahan Taman Nolina Indah. Nama jalannya, Hanjarwar, atau jalan menuju Kota Bunga maupun Taman Bunga. Di sepanjang jalan ini banyak penjual tanaman hias.

Banyak orang menyebut kalau punya tempat di sana sebagai villa, kalau saya menganggapnya sebagai rumah biasa. Kebetulan juga rumahnya tidak luas, cukup untuk satu keluarga dengan dua kamar dengan halaman dan kolam ikannya.

Untuk menuju ke sana tergantung, macet atau tidak. Kalau tidak macet, jalur Bogor, Ciawi, Puncak, bisa dilalui dalam waktu tidak lebih tiga jam. Tapi, kalau macet --apalagi sampai macet total-- wah bisa lima sampai enam jam. Apalagi kalau hari-hari libur panjang, ampun deh.

Tapi, sejak jalan tol Cipularang (Cikampek, Purwakarta, Padalarang) dibuka jalur Puncak agak lumayan. Saya sering menyiasati kalau ingin ke sana, berangkat pagi usai shalat Subuh atau melalui jalan Jonggol yang muncul-muncul di Cikalong-Cianjur.

Kamis, 22 Oktober 2009

ISTANA MERDEKA

Kalau dihitung baru tiga kali saya datang ke komplek istana Jakarta di bilangan Monas atau tepatnya di jalan Merdeka Utara. Dua kali di era Presiden Habibie dan Presiden Megawati, dan sekali di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Hanya bedanya, kalau dua kali yang pertama itu hanya masuk di aula Istana Negara sedangkan yang sekarang di ruangan depan Istana Merdeka. Bedanya lagi, kalau dua kali sebelumnya dalam momen yang kurang penting, Hari Pers Nasional dan Munas KONI Pusat, maka yang terakhir datang ke sebuah acara yang mengandung sejarah amat penting, yaitu pada pengumuman Kabinet Indonesia Bersatu jilid II, Rabu (20/10) malam.

Datang juga secara kebetulan. Memburu beberapa hari Menteri Negara Pemuda dan Olahraga yang baru, Andi Malarangeng yang dilakukan sejak Sabtu. Meski rekan sesama Partai Demokrat, tapi untuk diwawancara ia tidak ingin tergesa-gesa. Barulah setelah beberapa jam diketahui pasti namanya masuk jajaran kabinet, ia menelpon. Datang ke Istana pada saat pengumuman.

Datang ke Istana bukan persoalan mudah, kalau bukan tamu-tamu penting, wartawan yang bisa masuk mengenakan ID khusus istana. Tanpa itu, pasukan pengawal Presiden melarangnya. Tapi, buat Andi semuanya beres. Ia meminta saya datang dengan berkoordinasi kepada biro pers istana. Nanti semuanya saya yang atur.

Karena ini menyangkut tugas, saya datang bersama dua wartawan BOLA, Dede Isharuddin dan Dony Winardi. Di pos penjagaan, karuan saja pengaman ketat diperlihatkan. Mengisi absen dan tak lama kemudian staf humas menjemput kami dan langsung mengantar kami ke Istana Merdeka.

Sebelum memasuki halaman parkir sekretariat negara, saya memang melihat kesibukan orang di teras Istana Merdeka. Untuk diketahui teras ini mengingatkan kita kepada kejadian tahun 2000 ketika Presiden Abdurrahman Wahid malam-malam meninggalkan Istana untuk lengser dengan mengenakan piyama sambil melambaikan tangan.

Sampai di teras istana, keramaian memang tampak, lalu kami diminta masuk ke ruangan depan. Nah ruangan depan ini juga mengingatkan kita kepada lengsernya Presiden Soeharto pada 1998 dengan pernyataan berhenti jadi presiden dan menyerahkan tongkat kepemimpinan kepada wakilnya B.J. Habibie.

Di ruangan inilah sudah ada ratusan wartawan media cetak maupun elektronik menunggu pengumuman dari Presiden SBY. Kami datang disambut oleh Kepala Pers Istana, Pak Nachrowi dengan karuan saja rekan-rekan pers agak keheranan. Kok tumben-tumbenan wartawan BOLA hadir di Istana? Nachrowi menjelaskan pelan, undangannya Andi Malarangeng.

Sudah seperti kita ketahui bersama, SBY muncul lalu mengumumkan susunan kabinet. Usai itu acara pun selesai. Tapi tidak dengan kami dan beberapa wartawan. Sebelum berangkat menuju istana, Andi Malarangeng sempat mengizinkan kalau mewawancarainya usai pengumuman. Namun, yang namanya jabatan ketika itu masih Juru Bicara Presiden, ia tidak bisa serta merta keluar sendiri. Ia harus bersama SBY sebelum sang Presiden meninggalkan Istana malam itu.

Maka sekitar satu jam lebih kami duduk-duduk di lorong sebelah Istana Merdeka, dekat parkir mobil Presiden, Wapres, dan beberapa menteri dan tentu mobil Andi Malarangeng. Posisi tepat di halaman luas yang membelah Istana Merdeka dengan Istana Negara.

Tampak dari kejauhan terlihat gazebo yang acap dipakai oleh penyanyi-penyanyi yang diundang SBY dalam berbagai acara di halaman Istana. Penuh sejarah dan penuh kenangan pastinya di komplek Istana. Apalagi buat kepala negara yang menempatinya sebagai tempat tinggal, seperti yang dilakukan SBY sekarang.

Selain SBY, tercatat Presiden pertama Soekarno bertempat tinggal di sana bersama keluarga. Begitu pula dengan Presiden Abdurrahman Wahid. Tapi tidak dengan Presiden Soeharto yang walau 32 tahun berkuasa tidak bertempat tinggal di sana. Begitu juga dengan B.J. Habibie dan Megawati Soekarnoputri. Bedanya, Megawati sempat merasakan tinggal di sana ketika menjadi bagian anggota keluarga Presiden Soekarno.

Sejak tahun lalu, komlek Istana Merdeka dibuka untuk umum pada hari Sabtu dan Minggu. Tentu untuk masuk ke sana melalui pemeriksaan yang ketat.Pada saat Hari Raya Idul Fitri, Presiden SBY dan beberapa Presiden sebelumnya membuka kesempatan masyarakat datang ke Istana mengucapkan selamat Hari Raya.

Jumat, 28 Agustus 2009

KASAKSIAN YAN DARYONO

Nama Yance memang ke Belanda-Belanda an, tapi bisa juga dianggap sebagai kemanjaan sebuah panggilan seseorang. Itulah yang dialami oleh Yan Daryono, yang oleh keluarganya dipanggil Yance. Dia adalah kawan lama saya, dari sebelum nikah, punya anak, sampai sekarang. Hampir 30 tahun. Perhubungan di antara kami tidak putus, bahkan sekarang saya baru benar-benar masuk dalam keluarga besarnya.

Baru masuk? Kan berkawan sudah lama? Iya, Yan -begitu biasa saya panggil, memang anak yang agak idealis sehingga hubungan dengan keluarga besarnya agak berkurang. Ketika ia menikah tahun 1980-an, saya ikut hadir dan hanya satu atau dua saudaranya yang hadir. Ia banyak hidup tidak bersama keluarganya. Saya mengikuti terus perjuangan seniman ini, dari usahanya membuka rumah produksi di Jakarta maupun di Bandung. Di antara waktu-waktu itu, kalau tidak bertemu ya kontak-kontakan.

Ketika anak saya pertama Dinda kuliah di ITB, dia pula yang saya jadikan wali dalam pengisian formulir. Tentu berikut pencatuman alamat rumahnya di Bandung. Saya selalu menyempatkan diri mampir ke rumah atau kantornya jika menengok Dinda. Setelah Dinda lulus, dia juga saya kabari. Dan sejak itu saya jarang sekali ke Bandung.

Hingga pada suatu ketika beberapa bulan lalu datang SMS darinya. Dia mengabarkan kalau dia sedang sakit stroke mengarah ke otaknya. Dia meminta bantuan jika memang punya. SMS itu bikin geger, saya cepat-cepat ke Bandung. Ternyata yang geger bukan saya saja, tapi juga teman-teman yang lain, bahkan keluarganya. Padahal tadinya ia tidak ingin berita sakitnya itu sampai ke keluarga. Rupanya ada SMS yang terkirim ke Tantenya. Akhirnya seluruh keluarga turun tangan. Terutama tentu "Mami"nya. Maminya dan adik-adiknya datang ke Bandung. Lalu dikesimpulkan agar dia tinggal bersama keluarga besarnya di Pamulang untuk diobati.

Dari sinilah saya "masuk" ke keluarganya. Saya mengikuti perkembangannya hingga ia lolos dari serangan stroke yang lebih berbebahaya. Yang membahagiakan, keluarga besarnya bahu membahu ikut mendorongnya mewujudkan kreativitasnya. Mau tahu yang diwujudkannya? Pameran lukisan.

Yan, selain aktif menulis (menjadi wartawan, menulis skenario, buku, novel, puisi) juga memang bisa melukis. Pamerannya terwujud pada 10 hingga 14 Agustus dengan mengambil tempat di gedung Dewan Pers, Jalan Kebon Sirih Jakarta Pusat. Pameran yang diberi judul "Kesaksian Yan Daryono" bekerja sama pula dengan Rakyat Merdeka Online.

Pada hari pembuka seluruh keluarga Yan datang, bersama tentu undangan lainnya, seperti Rizal Ramli, Adhi Massardi, Iwan Burnani Toni (anggota Bengkel Teater), dan banyak lagi. Lukisannya lebih banyak berwarna kerakyatan. Bahkan pameran itu dibarengi oleh hobi yang lain, fotografi. Juga soal kerakyatan.

Dalam kesempatan bertemu dengan Yan di Pamulang, berkali-kali saya bilang kepadanya kalau dirinya beruntung memiliki keluarga yang begitu menyayangi. Jangan menjauh lagi demi idealismenya.

Saya pun mulai mendekat dengan keluarganya yang dulu meski pernah bertemu tidak sempat berbincang lebih lama. Ada maminya yang punya cerita panjang mendidik putra-putrinya, ada adiknya Prita, Yasa, maupun Tri.

Dari maminya, saya mendapat banyak cerita lebih detil tentang sahabat saya ini. Ia pernah dekat dengan Yapto yang ketika mudanya sangat ditakuti kawan maupun lawan. Yan juga sangat dekat dengan almarhum WS Rendra. Bahkan menurut ibunya, Rendra banyak mengubah kehidupan Yan.

Saya menyukai berbincang dengan Yan, karena ia punya banyak konsep segar dalam segala hal. Hal-hal itulah yang menurut ibunya diperoleh dari Rendra. Pendidikannya tidak sampai tinggi, karena ia merasa ia bisa mencerna segala persoalan lewat otodidaknya. Kalau ibunya bilang: Yance konseptor ulung.

Dari kedekatannya lagi bersama keluarga inilah, Yan menemukan kembali suasana keluarganya sedangkan keluarganya lebih mengetahui siapa sosok anak sulung ini.

Saya sendiri lebih mengetahui secara dalam siapa-siapa yang ada di dalam sejarah Yance. Di antaranya adalah Chairul Tandjung, pengusaha yang memiliki bank dan stasiun televisi itu. Hubungan keluarga Chairul dengan Yan sangat dekat, sampai-sampai Yan lah yang menjadi wali murid jika Chairul mempunyai persoalan di sekolah menengahnya dulu.

Kedekatan Chairul dan Yan sudah saya buktikan. Pameran lukisnya juga ada sponsor dari Chairul. Dalam kesempatan bertemu dengan Chairul beberapa kali, saya selalu mengingatkan perannya sebagai sponsor, sampai akhirnya ia benar-benar mencairkan dana untuk sponsor lukisan Yan.

Mami Yan bukan sekadar ibu rumah tangga, walau ia selalu menyebut kalau dirinya sebagai ibu rumah tangga sejati. Ia seorang pengusaha hotel, yang katanya dari empat kamar sampai menjadi puluhan kamar di Belitung. Tapi, sekarang karena ada suatu persoalan tempat penginapan itu ditinggalkan. Ia juga aktif di persatuan hotel Indonesia. Dalam menghidupi keempat anaknya seorang diri karena ayahnya Yan sudah meninggal dunia, ia berpikir sangat lincah. Salah satu cara yang berkesan buat saya, ia sering menitipkan modal kepada pedagang-pedagang.

Bakat usaha yang dimiliki Mami Yan menurun kepada Prita, adik Yan. Prita boleh jadi menjadi kebanggan keluarga ini. Dari bekerja di Clarck Hatch, hingga disekolahkan oleh pemilik usaha fitness itu ke London, sampai akhirnya ia mempunyai sekolah komunikasi prestisius, London School (London School Public Relation). Dari hanya kursus, kemudian tingkat D1, D3 sekarang sudah merambat ke tingkat Strata 2. Dari hanya dua ruangan, sekarang punya dua tempat di lokasi strategis di Jakarta.

Kehadiran Prita ditambah lagi dengan kehadiran sang menantu, Kemal Effendi Gani, yang kini menjadi Pemimpin Redaksi majalah Swa. Paduan antara Prita dan Kemal begitu kuat. Prita lewat London School-nya sedangkan Kemal dengan award-award Swa yang juga punya gengsi itu. Beberapa kali saya sempat bertemu dengan pasangan dengan tiga anak itu.

Ada yang selalu saya ingat jika bertemu dengan mereka. Jika berpisah Prita selalu bilang: "Terimakasih dengan kiriman ayamnya."

Aha, itu pasti kiriman dari Maminya. Karena yang selalu memesan ayam kampung kepada saya adalah Maminya. Setiap pesanan, saya selalu mengantarnya. Mengantar ayam, sambil menengok Yance sambil pula bercerita banyak dengan Maminya. Bersahabat dan belajar bisnis.

Kamis, 06 Agustus 2009

LAPANGAN BANTENG

Bagi masyarakat Jakarta, area Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, sudah menjadi akrab. Mereka juga rata-rata pernah berkunjung atau melewati tempat itu. Kalau sekarang ke sana, Anda akan menjumpai pameran yang semakin tahun memberikan ikon tempat itu, yaitu Pameran Flora dan Fauna atau Pameran Flona. Pameran itu berlangsung sejak 17 Juli lalu dan akan berakhir pada 20 Agustus mendatang. Biasanya memang berlangsung selama sebulan.

Bagi orang yang sudah terbiasa melihat pameran itu, biasanya jika ingin membeli tanaman menunggu pada hari-hari akhir. Nah pada saat itu, tanaman biasanya diobral.

Bagi saya, Lapangan Banteng selain sekarang menjadi arena kunjungan menyaksikan Pameran Flona tersebut, juga banyak cerita. Sekolah di SMA I yang terletak di Jalan Budi Utomo, tidak jauh dari tempat ini. Pada tahun 1970-an itu di bawah tugu pembebasan Irian Barat banyak kegiatan di Lapangan Banteng. Ada terminal bis dalam kota terbesar di Jakarta juga menjadi arena berolahraga, khususnya sepakbola.

Terminal bis sekarang sudah tidak ada, diganti oleh taman yang setiap tahunnya diisi oleh kegiatan Pameran Flona itu. Sementara lapangan sepakbola masih ada. Satu bertribun dengan lintasan atletiknya, satunya lagi tidak dan di sampingnya ada lapangan basket. Ketika masih SMA, tempat itu adalah tempat berolahraga kami. Bahkan tidak jarang sepulang sekolah kami bertanding satu kelas dengan kelas lain.

Di lapangan itu juga banyak digunakan oleh klub-klub sepakbola, semisal dulu MBFA, Honda, dan banyak lagi. MBFA yang paling dikenal dengan pelatih "Si Bung" -nya dan banyak menelorkan pemain-pemain legendaris, seperti Iswadi Idiris, Surya Lesmana, dan banyak lagi. Dulu ketika klub Jayakarta masih jaya-jayanya sering melakukan uji coba di lapangan itu. Saya tidak ketinggalan menyaksikan dari pinggir lapangan, misalnya Andi Lala dkk. beraksi.

Di luar Lapangan Banteng dikelilingi oleh gedung-gedung bersejarah. Ada gedung Departemen Keuangan yang dibangun pada tahun 1876 oleh Daendels, lalu Kantor Pos, Gereja Kathedral, Mesjid Istiqlal, Hotel Borobudur, dan Kantor Departemen Agama. Khusus untuk Mesjid Istiqlal, saya merasa bangga ikut menjadi saksi jalannya pembangunan dari pemasangan marmer sampai megah seperti sekarang ini. Sebab masa-masa SMA 1974-76, saya tidak menyiakan diri setiap shalat Jumat di sana. Pada saat itu pembangunan baru pada tahap pemasangan marmer, baik di dinding maupun lantai.

Sejarah Lapangan Banteng sendiri cukup lama. Siapa sangka kalau dulu bernama Lapangan Singa, karena ada patung singa di sebuah tugunya. Di zaman Belanda, untuk mengejek kekalahan Napoleon di Waterloo Belgia pada 1815, maka area tersebut dinamakan Waterloo Plein. Tadinya juga ada patung JP Coen, pendiri kota tersebut. Namun, ketika Jepang masuk ke Indonesia pada 1942 patung tersebut dihancurkan.

Lapangan Banteng memang bersejarah, baik untuk orang-orang pada masa sebelum kemerdekaan maupun kita yang mengisi kemerdekaan itu. Apalagi di saat tempat itu dijadikan terminal bis. Menjadi tempat berkumpulnya anak-anak sekolah yang mau berpacaran, sekedar janji, pelarian bagi yang bolos, atau bahkan bisa juga menjadi tempat nongkrongnya para pencopet.

Selasa, 28 Juli 2009

Profesor

Tiba-tiba saja suatu pagi saya ditelpon oleh seorang wanita yang mengaku sekretaris Rhenald Kasali, pakar manajemen yang pada 4 Juli lalu dikukuhkan sebagai Guru Besar Ekonomi Universitas Indonesia. Sekretaris itu menyebut bahwa saya diundang menghadiri syukuran keberhasilan sang profesor di "Rumah Perubahan", rumah lain Rhenald.

Rhenald memang kawan lama saya. Kami masih sering kontak. Rumah Perubahan sempat saya kunjungi dua kali, letaknya di Jati Murni, Pondok Gede, Bekasi. Ketika belum jadi, setengah jadi, dan pada Sabtu (17/7), ketika acara syukuran berlangsung, bangunannya sudah sempurna. Sudah ada kantor, tempat pertemuan, tempat menginap, makan bersama, dan banyak lagi.

Pengukuhannya sendiri sempat saya baca di media dan facebook-nya. Saya sempat mengucapkan selamat untuknya. Pantaslah dia menyandang gelar itu, karena ia sudah lama mengajar, apalagi dengan jabatannya sebagai Direktur MM UI. Profesor menjadi gelar tertinggi dalam akademik dan dia telah meraihnya. Merupakan inspirasi dan pacuan buat semangat saya untuk terus belajar. Tapi, untuk mencapai gelar itu, wawlahualam deh. S3 saja masih dalam perjalanan, umur sudah kepala lima. Jadi, nggak apa-apalah kalau sebagai temannya profesor.

Pada malam syukuran banyak kerabatnya hadir, terutama tentu para teman yang menjadi perjalanan sejarah Rhenald. Di antaranya adalah Rano Karno, artis yang kini menjadi wakil bupati Tangerang. Bang Doel itu teman sekelas Rhenald ketika masih di SMP Budi Mulia Jakarta. Mayoritas yang hadir memang alumni UI.

Yang di luar UI terlihat pula Adang Dorojatun, mantan Wakapolri yang pernah mencalonkan diri jadi Gubernur DKI, presenter Fenny Rose, Daan Project Pop, pemilik London School Prita dan suaminya, Kemal, pemilik Panti Pijat Bersih dan Sehat, Haryono, pemilik kebun durian Warso Farm, Warso, dan banyak lagi.

Saya di situ juga hadir merupakan saksi perjalanan Rhenald. Saya adalah kawan pertama Rhenald berkenalan dengan jurnalistik saat kami baru diterima sebagai calon karyawan di Kelompok Kompas Gramedia 1984-85. Gile ude lama ye?

Perjalanan Rhenald sebagai profesor amat menarik. Ia sempat tidak naik kelas di sekolah dasar. Menurut Rano, waktu SMP Rhenald juga tidak begitu pintar. Bahkan ketika lulus sarjana saja, IPK-nya tidak sampai 3. Semuanya itu bukan menjadi halangan buatnya untuk menembus "kekakuan" akademik dengan berhasilnya ia meraih beasiswa ke Amerika Serikat dan meraih Phd.

Menarik apa kata Haryono, si pengusaha pijat yang sudah mengembangkan sayap ke restoran itu.

"Ada tiga ciri profesor yang mudah dijumpai. Pertama kepalanya botak. Kedua, berkacamata tebal. Dan yang ketiga, orangnya pikun. Itu semua tidak ada pada diri Rhenald Kasali yang gemar pijat sehat dan bersih itu," ceritanya disambut gelak tawa. Rhenald memang masih tampan, kepalanya belum botak, dan juga belum pikun.

Selamat, Bro!

Minggu, 07 Juni 2009

Copy Chief

Sejak Agustus 2008, saya diserahkan tugas oleh kantor sebagai Copy Chief. Jabatan yang baru pertama kali dibuat oleh Tabloid BOLA. Dasarnya sederhana saja, karena selama ini banyak kesalahan cetak terjadi sehingga diperlukan orang yang konsentrasi untuk meminimalisir kesalahan. Dan itu harus dilakukan sebelum cetak. Itulah tanggungjawab Copy Chief.

Positive thingking saja saya menerimanya. Jabatan ini menambah rentetan jabatan yang pernah saya pegang di tabloid olahraga terbesar di Tanah Air ini. Dari reporter, kordinator liputan, wakil redaktur pelaksana, redaktur pelaksana, manajemen pengembangan produksi, dan sekarang.

Artinya apa dengan jabatan ini? Saya kembali menjadi manusia malam. Kerja malam, pulang pagi. Melihat usia yang sudah kepala 5, saya harus membagi waktu agar pada saat tugas nanti fresh. Maklum pekerjaan ini lebih mengutamakan fisik karena pada malam hingga pagi itu sangat diperlukan fisik segar untuk "memeloti" lay out tabloid yang siap cetak. Percuma saja memiliki tingkat ketelitian tinggi tapi stamina kurang hingga mengantuk saat bekerja.

Akibatnya memang saya lebih mudah dijumpai pada malam hari ketimbang siang hari. Karena pada jam-jam siang saya lebih banyak beristirahat di rumah untuk menyegarkan fisik. Urusannya memang ini dengan usia yang sudah kepala 5. Tidak sekuat jika dibadingkan masa muda dulu. Dua kali dalam seminggu harus pulang pagi. Setiap Senin dan Kamis sampai rumah sekitar pk. 07.00 -08.00 wib. Langsung tidur bablas sampai biasanya jam 3 sore. Bahkan terkadang harus tidur lagi. Bangun jam 9 hingga 10 malam. Baru segar kembali pada Selasa atau Jumat pagi. Kemudian keesokannya persiapan lagi untuk deadline lagi.

Pengaturan waktu satu minggu menjadi kunci suksesnya tugas Copy Chief. Di dalam jiwa yang sehat terdapat fisik yang kuat.