Selasa, 23 Desember 2008

SELAMAT NATAL DAN TAHUN BARU

1430 HIJRIAH DAN 2009 MASEHI

Minggu, 21 Desember 2008

Satu Hari Kuliah Kebudayaan

Sabtu, 13 Desember 2008, saya datang kembali ke kampus Sekolah Pasca Sarjana UGM Yogyakarta. Seperti biasa, dari Jakarta saya menggunakan kereta api menuju Kota Gudeg itu. Datang pagi hari, mandi dan berbenah sampai sarapan di stasiun Tugu, kemudian langsung menuju kampus di Teknika Utara itu.

Kuliah kali ini merupakan kuliah umum. Saya yang terdaftar sebagai mahasiswa Pra-S3, hadir bersama ratusan mahasiswa dari segala tingkatan, baik S1, S2, S3, bahkan beberapa dosen juga hadir.

Siapa pemberi kuliah? Dialah Prof. Dr. Irwan Abdullah, yang juga menjabat sebagai Direktur Sekolah Pasca UGM. Tema kuliahnya : "Satu Hari Kuliah Budaya Bersama Prof. Dr. Irwan Abdullah." Jadwal kuliahnya nonstop, dari pukul 09.00 wib sampai pukul 16.00 wib.

Tanpa henti? Memang begitulah. Selama itu dosen yang berasal dari Aceh ini tak henti memberikan penjelasan kuliah yang terdiri dari tujuh materi tersebut. Sesekali dia mengundang dosen tamu untuk memperjelas bahasan. Di saat seperti ini, sesekali dia menyantap buah atau makanan ringan hingga minum yang disediakan.

Selama itu pula para mahasiswa dengan setia menyimak kuliah. Para mahasiswa dibebaskan keluar masuk ruangan asal tidak mengganggu. Untuk minum maupun makan kecil disediakan. Menu makanan memang tidak berat, khas anak kuliahan macam pisang rebus, kacang rebus, somay, hingga bakso.

Meski diselipi oleh rasa kantuk, tapi kuliah sehari itu saya selesaikan tepat waktu. Bisa jadi bentuk kuliah seperti ini merupakan rekor sepanjang perkuliahan di negeri ini. Sayang panitia tidak mengundang pihak Rekor MURI.

"Melihat antusias seperti ini saya semakin yakin ilmu budaya ke depan semakin banyak yang menggemari," ujar Irwan Abdullah. Selain teori-teori dikedepankan, ia juga menampilkan para pekerja seni di awal dan akhir kuliah lewat karya-karyanya, yakni para komunitas Aceh dan penari humor Didik Ninik Towok.

Sehari di Yogya saya akhiri dengan makan nasi gudeg Bu Ahmad bersama sohib Widiyantoro. Rasa gudegnya...uenak tenan.

Minggu, 23 November 2008

Pasar Jatinegara

Bertambah lagi kunjungan saya ke tempat-tempat untuk menambah kesibukan terutama pada pagi hari. Syukur-syukur bisa menghasilkan uang. Sering kali setiap pagi saya menyempatkan diri mampir ke pasar Jatinegara, Jakarta Timur.

Lho? memang pasar sudah buka di pagi hari pukul 06.00 wib? Ya, pasar yang saya kunjungi berbeda dengan pasar grosir Jatinegara yang baru mulai kesibukannya pada sekitar pukul 09.00 wib. Di pasar ini, di atas pukul itu ramainya minta ampun. Para pembeli yang kebanyakan para pedagang eceran di rumah atau di kios-kiosnya di tempat lain, membeli barang-barang keperluan dari pakaian dengan pernik-perniknya hingga peralatan rumahtangga. Harganya grosiran. Saingan pasar ini dalam menjual pakaian adalah Pasar Tanah Abang yang lebih gila lagi perputaran uangnya.

Lalu, pasar apa di pagi hari itu sudah buka dan ramai dikunjungi orang? Tak lain pasar ikan, burung, dan pasar ayam. Letaknya di seberang pasar grosir. Satu lagi ada pasar ayam beberapa meter dari pasar itu.

Ikan-ikan hidup yang dijual di pasar itu beraneka ragam, ikan hias maupun ikan konsumsi. Misalnya ikan cupang, maskoki, koi, manfish, arwana, louhan, blakcmolly, gupy, sampai pada lobster air tawar dan kura-kura. Sedangkan ikan konsumsi yang bisa dijumpai di sana dari lele, bawal, mas, patin, sampai gurame.

Di rumah selain ada tanaman hias dan buah-buahan, saya juga bikin kolam seluas kurang lebih 25 meter persegi. Lele pernah saya pelihara sampai 2.000 ekor. Sedangkan sekarang ada bawal, gurame, dan nila. Bibitnya semuanya saya beli di pasar Jatinegara tersebut.

Menyaksikan jual-beli ikan di sana memang bagai pasar biasanya. Ikan-ikan baru diturunkan dari mobil bak terbuka yang kabarnya dikirim dari Parung Bogor. Para pedagang biasanya menyimpan ikan-ikan di drum plastik di sebuah bangunan milik pemerintah yang tidak terpakai di situ. Sementara itu, kios-kios penjualan ikan bersama peralatanannya berjejer di sepanjang jalan. Para pedagang kaki lima di sana bukan hanya menjual ikan, tapi juga peralatan dan makanannya.

Agak siang sedikit barulah bermunculan penjual-penjual unggas, burung dan ayam. Mereka ada yang berjualan di trotoar jalan maupun di dalam dengan kios-kios burungnya. Di trotoar kalau siang atau sore makin ramai. Binatang yang dijual pun bukan hanya burung tapi, juga monyet, ular, dan kelinci. Sedangkan burung, ada juga yang terbilang langka, seperti burung hantu, elang, ayam hutan, kelelawar, dan banyak lagi.

Soal makanan ikan, dijual dari pelet, sampai ikan-ikan kecil, macam lele dan mas anakan untuk makanan ikan arwana maupun louhan. Di tempat ini juga banyak kita jumpai penjual undur-undur. Untuk apa binatang kecil ini? Kabarnya untuk obat suatu penyakit.

Soal harga, semuanya bisa dilakukan dengan nego. Pintar-pintar menawarlah, dan pilih binatang jangan yang terlihat sakit.

Sementara itu, saya juga sering mampir ke pasar ayam yang terletak tidak jauh dari situ. Memebli bibit ayam di sana juga harus pintar-pintar menawar dan melihat kondisi ayam. Ayam-ayam yang saya beli di sana untuk melengkapi ternak ayam saya yang bibitnya saya beli dari peternakanan di Cipanas. Di halaman belakang rumah, saya pakai untuk untuk ternak ayam kampung sampai maksimasil 1.000 ekor.

Sudah sekitar empat tahun saya menggeluti usaha sambilan ini di rumah. Perputaran uangnya lumayan buat membantu masyarakat sekitar menambah penghasilan buat Lebaran atau tambahan lain. Sebab, jika ayam maupun ikan sudah layak konsumsi saya menjualnya lewat tengkulak yang ada di masyarakat situ. Saya untung mereka pun juga memperoleh keuntungan.

Minggu, 28 September 2008

Dari Hati Yang Tulus


SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI 1429 H

MOHON MAAF LAHIR DAN BATIN

Rabu, 24 September 2008

Insinyur Dinda

Siang itu (Rabu, 24 September) ketika sedang mengendarai mobil menuju kantor hp saya berdering. Si sulung Dinda menelpon. Terdengar suara dari anak saya yang pertama yang kuliah di ITB Bandung; "Pa, aku lulus."

Ya, dia baru saja mengabarkan kelulusannya dari ujian kompre yang merupakan ujian terakhirnya. Seluruh mata kuliah dari smester 1 sampai 8 diuji di situ. Ia melakukan persiapan lebih dari sebulan sambil tentu menunggu jadwal. Lulus dari ujian ini memasuki tahap formalitas wisuda. Menurutnya, kalau tidak bulan Oktober ya bulan Maret tahun depan wisudanya.

Sebagai orangtua senangnya bukan kepalang. Ucapan bersyukur kepada Allah SWT saya ucapkan membalas ungkapan keriangan Dinda. Sambil menunggu wisuda, kini ia sudah layak menyandang gelar insinyur (Ir.). Kata almarhum Benyamin dalam sinetron "Si Doel Anak Sekolahan" gelar itu disebut "Tukang Insinyur". Sama juga seperti Bang Ben yang berjingkrakan menyambut gelar itu untuk Si Doel, saya juga keriangan. Di mobil berteriak-teriak memuji kebesaran Tuhan.

Saya memang mungkin masih kalah dibanding orangtua-orangtua yang kurang beruntung dalam ekonomi tapi mampu menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang tinggi. Banyak cerita kita peroleh, misalnya seorang tukang jamu berhasil menyekolahkan anak-anaknya hingga ke luar negeri. Dan banyak cerita heroik orangtua lagi.

Namun demikian saya tetap bersyukur. Merasa bangga, kalau dari tangan saya telah berhasil menelorkan anak berpendidikan S-1 dari universitas ternama. Apalagi Dinda berhasil menyelesaikan waktu sekolahnya dengan normal, empat tahun. Di usia masih cukup muda, 21 tahun. Dibanding bapaknya yang baru mendapat S-1 pada usia 48 tahun! Gila apa neh!

Saya dapat S-1 dan kemudian S-2 nggak pernah membayangkan. Begitu pula dengan anak saya berkuliah di universitas negeri ternama dengan masuk dan lulus lewat jalur normal. Namun, di balik itu tantangan pun muncul lagi. Akan ke mana Dinda setelah lulus? Saya menyerahkan kepada dia, apa mau bekerja atau melanjutkan ke S-2 tapi lewat beasiswa ke luar negeri? Beberapa pilihan sedang dalam perencanaan.

Tantangan lain tentu buat si kecil Anggia, yang tahun depan memasuki masa kuliah. Ia memiliki beban melihat kakaknya yang tembus ke universitas negeri lewat jalur SPMB. Buat saya, saya menyerahkan lagi kepada si anak. Dalam ancang-ancang ia ingin pilih jalur sosial meski kini ia berada di SMA jurusan IPA. Jurusan yang masih ditimbang-timbang adalah psikologi dan komunikasi.

Sebagai orangtua tentu mendorong keinginannya. Ia sudah masuk bimbingan belajar BTA. Yang penting sekarang adalah usaha dulu, soal hasil diserahkan kepada Tuhan.

Go ahead, my daughter! Yeah!

Jumat, 29 Agustus 2008

Pertemuan Orangtua Murid

Hiii, terkadang malu sendiri kalau harus membicarakan hal ini. Tapi, inilah tanggungjawab dan keinginan saya untuk terus mengikuti perkembangan anak. Sejak anak masuk SMP sayalah yang selalu hadir dalam pertemuan orangtua murid jika ada undangan dari sekolah. Pertemuannya macam-macam, ada untuk mengambil raport, soal kegiatan sekolah, kenaikan SPP, dan banyak lagi.

Itu saya lakukan sejak Dinda, anak saya yang pertama berada di SMP (sekarang ia hampir selesai kuliah di ITB/wisuda bulan Maret 2009) dan Anggia, anak saya yang kedua yang sekarang duduk di bangku SMA 26 Jakarta kelas 3. Dihitung sudah 10 tahun saya mondar-mandir ke sekolah anak-anak saya. Dinda SMP nya di SMP 3 Jakarta dan SMA-nya di SMA 8 Jkt. Sementara Anggia, SMP-nya di SMP 115 Jakarta.

Pada Kamis (28/8) lalu, mulai pukul 15.30 WIB saya hadir lagi di sekolah Anggia, bilangan Tebet, untuk diberikan penjelasan soal materi kegiatan kelas 3 SMA. Maklum kelas ini merupakan akhir dari SMA dan akan mengikuti tes masuk perguruan tinggi.

Ketika Dinda pada masa ini, saya benar-benar mengikuti. Dari kegiatan belajar hingga bimbingan belajar di luar, bahkan soal skor-skor yang didapatnya. Skor itu sangat penting sebagai bahan dasar untuk mencoba tes perguruan tinggi yang diinginkan.

Untuk Dinda memang harus angkat topi buat dia. Untuk sekolah dia sudah melewati kepintaran orangtuanya. Dari SD sampai SMA rangking terus. Bahkan di SMP ketika lulus merupakan terbaik dan diterima ke SMA 8 Jkt, SMA terbaik se Indonesia. Dari kondisi inilah ia memasang target untuk masuk ITB Teknik Kimia dan diterima.

Nah, untuk Anggia kami sudah ancang-ancang. Ia ikut bimbingan belajar, sambil tentu konsentrasi di sekolahnya. Namun, ia bukan seperti Dinda. Ia lebih tertarik kepada bidang sosial walau sekarang ini berada di kelas IPA. Kegiatan eskulnya juga di bidang seni, seperti tari dan musik.

Kembali kepada pertemuan ortu, mayoritas tentu adalah para ibu. Sementara kepala sekolah dan walikelas kebanyakan adalah wanita. Ketika tukar menukar informasi dan masukan, sering walikelas maupun kepala sekolah menyatakan pujian atas perhatian saya seorang bapak kepada anak-anak saya. Saya selalu menjawab soal tanggungjawab dan kebetulan saya juga tertarik mengetahui dunia pendidikan seperti ini.

Akhirnya saya menjadi lebih sering diskusi dengan anak-anak perempuan saya itu, terutama tentu dalam usaha menyelesaikan sekolah. Sebab, kalau soal pelajarannya tentu saya sudah kurang memahami, apalagi mata kuliah Dinda yang rumus-rumus teknik melulu.

Insya Allah dari penyelusuran dan ikut terlibat aktif dalam pendidikan anak-anak membuahkan hasil terbaik, minimal memberikan bekal pendidikan tingkat sarjana. Untuk tingkat S-2, saya menganjurkan untuk mencari beasiswa walau untuk itu dana tetap dialokasikan. Tapi, setidaknya diperlukan pengalaman bekerja dulu.

Ayo my daughter, kejar cita-cita setinggi langit! God bless you!

Minggu, 24 Agustus 2008

S-3

Saya mulai menapaki masuk kuliah lagi di tingkat S-3 atau Doktor. Pilihan kembali lagi kepada Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Sabtu dan Minggu (23-24 Agustus) kemarin sudah mulai pada Pra-S3. Ada tujuh orang peserta di Sekolah Pasca Sarjana UGM itu. Selain saya, enam orang lagi berprofesi sebagai dosen. Bahkan seorang sebagai rektor.

Alhamdulillah, berarti tambah pergaulan lagi. Pengajarnya, karena tingkatan bertambah lagi maka pengajarnya adalah para profesor. Gaya kuliah kali ini memang ekspres. Tiba saya di Stasiun Tugu Yogyakarta langsung ke kampus, belajar hingga sore hari.

Masa Pra-Doktor ini akan berlangsung dua bulan. Pada saat usai para mahasiswa diharapkan sudah menemukan masalah yang akan diteliti untuk dijadikan disertasi. Bagi saya, masalah yang akan diteliti tidak jauh-jauh lagi dengan pekeraan, yaitu industri media massa. Judulnya apa, masih terus menggelinding.

Saya harus bersyukur kepada Tuhan. Di tengah hiruk pikuk kondisi sekarang, masih diberikan kekuatan untuk mulai memasuki pendidikan S-3. Terimakasih, Tuhan! Juga tentu kepada keluarga yang memberikan keleluasaan kepada saya untuk mengambil pendidikan, padahal usia sudah kepala lima. Kata orang: pendidikan untuk semua orang, sepanjang masa.

Kamis, 29 Mei 2008

Tebet

Banyak media belakangan mengungkap perkembangan daerah Tebet, Jakarta Selatan. Jika Anda ke daerah ini, memang dapat dijumpai perubahan lingkungan, terutama di Tebet Utara. Perubahan itu menyangkut soal makanan dan pakaian. Kaum muda yang banyak datang ya untuk hang out -lah atau berwisata kuliner dan belanja baju.

Di sana bukan hanya warung Tegal Warmo yang sudah lama kita kenal, tapi juga sudah beraneka ragam makanan. Ada RM Bebek Ginyo, Ayam Bakar Mas Mono, Burger D'John, Comic Cafe, Kambing Bakar Madu, Soto Kudus, Bakso Ceker Bandung, Soto Gebrak, sampai Bakso Tukul. Perkembangan di Tebet Utara yang menonjol adalah munculnya Factory Outlet (FO), mirip jalan Dago di Bandung yang mulai ramai. Pelopor toko pakaian sisa ekspor ini adalah Endoors. Setelah itu bermunculan bak jamur. Alhasil memang kalau ke daerah sana pada waktu jam makan atau sore-malam, akan dijumpai kemacetan.

Saya sudah cukup lama mengikuti perkembangan di sana. Maklum, dua anak saya menghabisi masa sekolah menengahnya di daerah sana. Kebetulan pula sering mampir ke warung Warmo yang buka 24 jam dengan menu banyak pilihan, kelas warteg tentunya. Semakin dinihari di Warmo bakal semakin ramai, khususnya oleh muda dan mudi yang baru saja melepas kepenatan di tempat-tempat hiburan. Di depan Warmo kebetulan ada Wisma Tebet, tempat menginap kelas menengah untuk fulltime maupun transit.

Perumahan-perumahan Tebet kebanyakan dulu ceritanya pindahan dari gusuran orang-orang Betawi akibat pembangunan Gelora Bung Karno maupun pembangunan Gedung DPR-MPR Senayan. Mereka mendapat pindahan ke situ, tapi tak lama juga rumah-rumah penduduk asli Jakarte ini tergusur lagi karena mereka banyak menjual lagi kepada penduduk pendatang atau dijadikan perumahan Tebet Mas maupun Rumah Susun. Peninggalan mereka yang jelas adalah para penjual bunga di depan Perumahan Tebet Mas, mirip Rawa Belong yang dikenal dengan pusat penjualan aneka bunga, bukan saja tingkat nasional tapi sudah internasional.

Perkembangan juga terlihat di sekitar Lapangan Ros Raya. Segala macam makanan tersedia, dari makanan Sunda, Jawa, Makassar, hingga Arab. Terus menuju Kampung Melayu, beragam sate bisa dijumpai, plus Kebab dan Bakso Tembak.

Kalau antar atau jemput anak pertama tidak begitu perhatian dengan Tebet, karena lokasi sekolah di Bukit Duri dan Manggarai. SMA Dinda, anak saya yang pertama di SMA 8 Bukit Duri, sedangkan SMP-nya di SMP 3 Manggarai. Tapi, sempat beberapa minggu masuk ke wilayah Tebet, karena SMA 8 kebanjiran ia harus belajar sementara di SD bilangan Tebet.

Nah, yang sering hingga sekarang adalah antar jemput si bungsu Anggia. SD di Cibono Selamet Riyadi, SMP di 115 Lapangan Ros, dan sekarang SMA 26 Tebet. Otomatis sehari-hari melewati sana.

Diperkirakan daerah itu akan tumbuh lagi resto maupun FO, karena sampai sekarang masih dijumpai bangunan yang masih direnovasi. Rata-rata rumah yang tadinya ditinggali penduduk direnovasi menjadi tempat-tempat itu.

Perkembangan Tebet memang menjadi menarik diikuti. Di lain hal mendatangkan perekonomian tapi mengundang kemacetan juga, mirip Bandung. Di hari libur banyak penduduk Jakarta nyerbu ke Kota Kembang itu untuk mampir ke FO atau tempat-tempat makanan. Bedanya, Tebet masih bisa dinikmati untuk makan dan minum di teras resto, sambil menyaksikan kemacetan. Kemacetannya masih bisa ditolerir-lah, karena hanya pada lokasi-lokasi itu saja.

Mau ke sana? Kali aje kite ketemu. Nyok!

Rabu, 07 Mei 2008

Carolus

Carolus yang saya maksud di sini adalah rumah sakit yang terletak di bilangan Salemba. Pastilah bagi masyarakat Jakarta, rumah sakit itu banyak meninggalkan kenangan, sampai-sampai ada lagu jaman dulu yang mengisahkan tentang kisah percintaan di sana.

Apakah judul lagunya sama dengan nama rumah sakit, saya lupa. Siapa pencipta atau penyanyinya juga lupa. Tapi, ada syair pertama yang berbunyi dan saya masih ingat:

Aku berpisah di Sint Carolus
Air mataku berlinang

Seterusnya bagaimana, saya lupa syairnya. Tapi, kalau mau tahu secara ringkas riwayat rumah sakit ini bisa klik di websitenya. Hebat ya, rumah sakit bisa punya website. Hebat untuk ukuran Indonesia, lho!

Di dalam layanan itu paling tidak kita mengetahui bahwa rumah sakit itu berdiri sejak tahun 1917. Gile, berarti sebelum Sumpah Pemuda mereka sudah ada. Dua tahun kemudian rumah sekit dibuka untuk umum dengan 40 tempat tidur. Seterusnya bagaimana lihat saja di http://www.rscarolus.or.id/.

Yang saya mau ceritakan adalah kenangan buat saya di rumah sakit itu. Besar buat saya, karena di tempat itulah dua anak perempuan saya lahir. Kemudian menjadi rumah sakit di mana istri pernah menjalani operasi.

Cerita soal anak, Carolus bukan tempat kelahiran saja. Tapi juga perawatan ketika mereka sakit, khususnya adalah demam berdarah. Lahir di sana, kemudian ketika masih kanak-kanak pernah dirawat di sana. Dan saat remaja, mereka pun sempat dirawat di sana.

Pada pertengahan April 2008 lalu, saya kembali bermalam di sana. Berada di suasana rumah sakit yang memiliki taman dengan pohon-pohon dan bangunan tua. Saya menunggui si bungsu Anggia yang berusia 16 tahun terserang demam berdarah. Sebelumnya, si sulung, Dinda, yang kini hampir menyelesaikan kuliahnya di ITB, beberapa tahun lalu sempat pula dirawat di sana.

Tidak banyak perubahan berarti, kecuali pada bangunan depannya. Tempat unit daruratnya masih seperti dulu, begitu pula dengan pengambilan darah, laboratorium, lift, tangga, tempat tunggu, dan sebagainya.

Semua tidak berubah, ya tidak apa-apa. Yang penting masih layak pakai. Begitu pula dengan sisdurnya. Soal sisdur inilah yang tentu menjadi keunggulan Carolus. Apalagi menyangkut kesehatan, sisdur menjadi daya tarik pasien. Sisdur yang dimaksud tidak terlepas dari pelayanan pula. Pelayanan dokter, pelayanan suster, dan pelayanan lainnya.

Keragaman suku dan agama juga terlihat di sana. Carolus identik dengan organisasi Nasrani. Tapi, pelayanan kepada non-Nasrani tetap saja baik. Uniknya, saya melakukan shalat di kamar pasien dengan tanda salib tergantung di dinding kamar. Saya punya alasan, itu terjadi karena keterbatasan tempat dan kondisi.

Anggia sekamar dengan keluarga yang ragam. Seorang ibu yang sedang dirawat dari keluarga Nasrani, sedangkan sang suami yang setia menunggu adalah muslim yang taat dengan shalat. Ia juga tak henti melakukan shalat di kamar. Anak-anaknya ada yang Nasrani dan Islam.

Kebenaran beragama kita serahkan kepada keyakinan masing-masing. Kita tidak boleh memaksakan dan dipaksakan oleh seseorang untuk melakukan keyakinan.

Kehadiran di Carolus itu berbarengan dengan boomingnya film "Ayat-Ayat Cinta" dan akan dibekukannya organisasi Ahmadiyah di Tanah Air.

Selasa, 29 April 2008

Wisuda 24 April 2008

Rangkaian panjang perjalanan wisuda Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta periode 24 April 2008 berakhir sudah. Persiapan menuju Kota Gudeg yang menjadi tempat menginap, pendaftaran, sekaligus pengukuhan kelulusan berakhir dengan kelegaan. Mahasiswa dari luar Yogyakarta, khususnya dari Jakarta berbondong datang ke sana, membawa sanak famili. Ada yang memakai mobil sendiri, kereta api, dan juga tentu pesawat terbang. Bagi yang sudah bekerja cuti diambil paling sedikit satu minggu. Alamak kayak cuti Hari Raya saja.

Saya berada di dalamnya. Saya berangkat pada Selasa, 22 April menggunakan kereta di saat anak bungsu saya baru saja keluar dari rumah sakit karena terkena demam berdarah. Di Yogya, saya bermalam seperti ketika mengikuti mata kuliah Global Bisnis Environment dan sidang tesis, yakni di Wisma MM UGM yang terletak di Barek, tidak jauh dari Kampus maupun tempat pengukuhan di Graha Sabha Pramana.

Apa yang menarik dari perhelatan itu?

Di malam pelepasan yang berlangsung di halaman belakang Kampus MM dan sayang tidak dihadiri oleh Direktur MM, Pak Hargo Utomo yang sedang tugas di Bangkok Thailand, ada beberapa pengumuman penting. Lulusan termuda dari 147 lulusan adalah wisudawan berusia 22 tahun, sedang yang paling tua 56 tahun.

Saya berada di mana? Lumayan belum yang paling tua: dua hari lagi genap 50 tahun.

Lalu soal IPK, yang paling tinggi adalah 3,90 yang kebetulan diraih oleh teman sekelas saya (AP 6B) Widyarini. IPK rendah tidak disebutkan, tapi rata-rata adalah 3,44. Ada 10 wisudawan yang memperoleh cumlaude, yakni yang memiliki IPK di atas 3,75.

Saya berada di mana? Aha masih untung di atas rata-rata, tepatnya 3,57.

Di malam pelepasan itu, para wisudawan sempat digojlok berdiri di atas panggung untuk melakukan berbagai aksi. Pastilah dimanfaatkan untuk acara foto bersama. Beberapa dosen yang hadir, tentu yang saya kenal, di antaranya adalah Pak Agus Setiawan, Pak Setijono Miharjo, Pak Djamaludin Ancok, Pak Harsono, dan banyak lagi.

Widyarini yang karyawan Bank Niaga yang akrab dipanggil Ninin itu akhirnya menjadi bintang ketika pengukuhan keesokan harinya di Graha Sabha Pramana. Ia juga menjadi yang terbaik se Fakultas Ekonomi dan Bisnis yang membawahi MM itu. Ia wakil fakultas untuk menerima ijazah dari rektor UGM, tentu bersama wakil-wakil fakultas lainnya dan lulusan S3. Di luar para terbaik itu, ijazah diserahkan oleh Dekan Fakultas masing-masing.

Jumlah wisudawan yang dikukuhan pada 24 April itu sebanyak 900 orang. Para wakil fakultas dan pemilik predikat cumlaude itu mamakai toga yang berbeda dengan yang tanpa prestasi. Bolehlah sebagai bentuk penghargaan kepada mereka yang berprestasi.

Apa yang menarik dari pengukuhan itu?

Keramaian dengan munculnya studio-studio foto buatan untuk kenangan para wisudawan menjadi ciri khas. Mereka adalah salah satu dari penghasil pendapatan daerah Yogyakarta. Penghasil yang lain adalah hotel-hotel tempat menginap, para pedagang Malioboro, tempat-tempat makanan favorit, dan banyak lagi. Ketika itu baru 900 wisudawan yang kalau dikalikan dengan keluarga barangkali sekitar 2000 orang yang berkunjung ke Yogya.

Itu terjadi tiga kali dalam setahun. Dan ini baru wisuda pascasarjana, belum lagi S1 yang jumlahnya pasti lebih banyak lagi. Belum lagi para mahasiswa yang kos di sana memberikan sumbangan ke daerah. Orang-orangtua mereka minimal satu tahun sekali mengunjungi dengan membawa sanak famili. Belum lagi.....belum lagi....

Ya, Yogya setelah saya dikukuhkan sebagai anggota Keluarga Alumni Gadjah Mada (KAGAMA) memang menjadi kota yang cukup penting buat saya. Mau tak mau harus memikirkan untuk memajukan daerah ini. Tentu selain untuk kemajuan ilmu, bangsa dan negara, serta diri dan keluarga.

Hanya ada yang nyeletuk ketika baru menerima kartu KAGAMA. Kok jelek amat ya? Nggak modern!

Waktu membacakan nama demi nama wisudawan untuk menerima ijazah satu persatu ternyata tidak ada yang tertukar. Tapi, masih saja ada yang salah ketik di ijazah maupun di transkrip. Ya, panitia juga manusia.

Lepas dari itu, apresiasi buat panitia wisuda yang telah bekerja dengan ...sempurna! Makanannya waktu acara pelepasan enak-enak. Matur nuwun !

Selasa, 08 April 2008

Kemayoran

Nama Kemayoran menjadi tidak asing buat kita, bukan hanya penduduk Jakarta tapi juga seluruh Indonesia. Nama itu di era 1980 ke bawah sangat populer, karena menjadi nama bandar udara, nasional maupun internasional. Beberapa event besar pernah "manggung" di lapangan terbang Kemayoran itu.

Sebut misalnya kedatangan pahlawan-pahlawan bulutangkis setiap mereka merebut juara Piala Thomas di luar negeri. Jalan-jalan di seputar bandara selalu dijubeli masyarakat yang ingin menyaksikan Rudy Hartono dkk. berikut Piala Thomas dari dekat. Begitu juga jika tamu negara datang, penduduk bercampur baru dengan murid-murid sekolah menyambut kedatangan sang tamu bersama Presiden kita waktu itu (Soekarno dan Suharto).

Moment yang juga tidak bisa dilupakan adalah pelaksanaan Indonesia Air Show pada 1986 yang menghadirkan pesawat-pesawat canggih dan akrobatik di udara Jakarta, misalnya Mirage 2000, Red Arrows, dan banyak lagi pesawat kiriman negara-negara adidaya.

Selain pernah menjadi lapangan terbang terbesar di Indonesia, nama Kemayoran juga dikenal untuk menyebut keaslian daerah di Jakarta tempo dulu. Ada istilah Keroncong Kemayoran di situ, ada pula penyanyi beken Benyamin Sueb yang sudah almarhum yang lahir dan besar dan kini menjadi ikon kota Jakarte. Nama sang artis itu kini dipakai untuk jalan bekas landasan pacu bandara Kemayoran.

Ketika masih menjadi pusat penerbangan sipil (yang militer sampai sekarang masih ada di Halim Perdana Kusuma), jalan maupun bangunan di sana masih tertata. Tapi, setelah ditinggal oleh burung-burung baja yang besar-besar itu, Kemayoran menjadi semrawut.

Memang ada Pekan Raya Jakarta (PRJ) yang diselenggarakan setahun sekali (setelah dipindah dari Taman Monas) dan selalu dibuka oleh Presiden, tapi suasana kesemrawutan tetap menyerbu. Selain PRJ, di sana juga sering digelar pameran berskala nasional maupun internasional.

Memang juga ada bangunan-bangunan tinggi sekarang ini, yakni berupa apartemen dan lapangan golf, serta cafe-cafe. Tapi, tetap saja suasana semrawut terpancar. Semrawut di sini bukan berarti banyaknya bangunan-bangunan kumuh, tapi juga bangunan-bangunan tinggi itu sepertinya menelan lahan-lahan penghijauan atau ruang terbuka yang tadinya masih banyak di sana.

***

Berbicara Kemayoran di sini bukan hanya area bekas lapangan terbang saja, tapi juga daerah-daerah di sekitar, seperti jalan Garuda, Angkasa, Rajawali, Haji Ung, Utan Panjang, Bendungan Jago, Serdang, Sunter, hingga seberang Ancol.

Saya menjadi saksi dari perubahan di sana, karena dari kecil hingga tua seperti sekarang ini tidak lepas dari daerah itu. Saya lahir di bilangan Senen dan tinggal di Kali Baru Timur (Bungur/Poncol), tidak jauh dari Kemayoran. Kemudian sejak 1976 pindah ke daerah Serdang yang dulu sering dibisingkan oleh deru pesawat. Tapi, ketika Indonesia Air Show, punya kenikmatan tersendiri menyaksikan atraksi itu. Saya juga sempat menyaksikan kedatangan tim Piala Thomas dari pinggir jalan Angkasa, yang entah terjadi pada tahun berapa (saya lupa).

Ketika masih kanak-kanak, bantaran kali Kali Baru Timur yang tembus ke Kali Item (Haji Ung), masih bisa dipakai untuk bermain sepakbola. Tapi, sekarang di kiri kanan kali sudah berdiri bangunan kios dan warung entah apalah.

Kalau ada pabrik tahu atau tempe di pinggir kali, memang sudah dari dulu. Juga ada pasar tradisional yang bernama Pasar Nangka. Atau juga ada kegiatan pedagang kaki lima di seputarn jembatan H.Ung, sduah dari dulu.

Tapi, yang lebih memperparah dan ini kaitannya dengan penghijauan adalah perkembangan bekas bandara dulu. Aparteman bertebaran, sehingga menyesakkan pemandangan. Apartemen itu semakin disindir kehadirannya, sebab diharapkan ada pula tower-tower untuk kelas menengah, bukan apartemen untuk kelas atas.

Ketika Wakil Presiden Jusuf Kalla meresmikan tower-tower itu ternyata belum dibangun. Jangan kan sudah berdiri kerangka, baru berupa miniatur. Wapres dikibuli oleh pengusaha yang tentu lebih untung membangun apartemen untuk kelas atas ketimbang tower-tower untuk menengah ke bawah.

Itulah Kemayoran kini, menjadi sarang penyamun juga.

Rabu, 20 Februari 2008

Yogyakarta, 16 Februari 2008

Tanggal ini mengisi catatan baru lagi dalam perjalanan hidup saya. Busyet dah, saya nggak nyangka di tanggal itu yang jatuh pada hari Sabtu, saya dinyatakan lulus dalam sidang tesis S-2. Tesis berjudul "Formulasi Strategi Bersaing Tabloid BOLA dalam Industri Media Olahraga" dinyatakan lulus dengan nilai A dan tanpa revisi.

Alhamdulillah, begitu saya ucapkan ketika dua penguji Drs. Eko Budiwiyono MBA dan Dr. Agus Setiawan MSc menyatakan saya lulus dengan nilai A. Itu adalah perjalanan akhir kuliah saya di MM UGM selama kurang lebih dua tahun. Saya kuliah di Jakarta setiap akhir pekan mulai Juni 2006. Sementara itu ketika pendadaran tesis dilakukan di Kampus MM UGM di Jl. Teknika Utara, Barek, Yogyakarta. Menurut rencana wisuda akan dilakukan di sana pula pada 24 April mendatang.

Bukan hanya saya saja yang diuji ketika itu, juga dua rekan saya di kelas, yaitu Widyarini dan Danny Kosasih. Mereka juga dapat A dan tanpa revisi. Bagi saya mereka wajar mendapatkan nilai itu. Ninin --panggilan Widyarini-- dan Danny adalah bintang kelas yang selalu mendapat A dalam ujian mata kuliah di tiap semester. Mereka adalah lulusan S-1 dari Universitas Indonesia. Ninin yang sekarang bekerja di Bank Niaga adalah lulusan psikologi, sedangkan Danny lulusan Fakultas Ekonomi. Usia mereka masih di bawah 40 tahun. Jangan-jangan Danny under 30 nih.

Biar kita-kita sudah pengalaman sidang skripsi, tetap saja menghadapi pendadaran tesis yang dimulai pukul 10.00 WIB itu terasa tegang. Ninin nggak bisa tidur semalaman. Danny yang sekamar dengan saya malah bermimpi sudah menjalani sidang. Wah, pokoke pada tegang.

Saya mendapat giliran pertama untuk disidang. Dua penguji meminta menjelaskan materi tesis, saya jawab dengan lumayanlah matang. Setelah itu pertanyaan bertubi-tubi datang, saya juga menjawab dengan lancar. Tidak kurang dari satu jam, pendadaran itu berakhir.

Selanjutnya giliran Danny. Waktu yang dihadapi juga tak jauh berbeda dengan saya. Begitu juga dengan Ninin.

Usai kami sidang, para penguji rapat dulu. Setelah itu satu persatu dipanggil lagi. Saya ke luar bergembira, Danny juga, lalu disusul oleh Ninin. Horeee, lulus!

Kami mengikuti rekan-rekan sekelas yang lebih dulu lulus, yaitu Tiara dan Ronat. Satu angkatan tapi lain kelas yang sudah lulus juga ada, yaitu Umar Hasan, Sigit, Yanuairus, Zaini, dan Sadli. Lumayanlah, kalau untuk kelas saya masuk tiga besar, sedangkan untuk angkatan saya berada di nomor 8 dari sekitar 60 mahasiswa angkatan Akhir Pekan 6.

Acara ngubek-ngubek Malioboro yang kami rencanakan sebelumnya akhirnya berlangsung mulus dan riang. Makan siang di Pondok Cabe daerah Gejayan. Saya referensi bagi yang ingin ke Yogya, bosen dengan gudeg, mampir deh ke resto ini. Mantap. Apalagi sambelnya, dari yang biasa sampai yang pedasnya minta ampun. Untuk oleh-oleh kami membawa gudeg Bu Ahmad dan bakpia nomor 25.

Tentu oleh-oleh yang paling berharga adalah tanda kelulusan sidang tesis yang ditandatangani dua penguji itu. Thanks, God!

Minggu, 20 Januari 2008

Rhenald Kasali

Sudah lama saya ingin mengunjungi "Rumah Perubahan" yang didengung-dengungkan oleh teman lama saya, Rhenald Kasali. Kalau kami telepon-teleponan atau sms-an bertanya kabar atau kegiatan, ia selalu mengungkapkan soal kegiatan itu. Niat itu kesampaian pada Minggu (20/1) lalu.

Rhenald menjadi teman lama sejak saya bergabung di Kelompok Kompas Gramedia (KKG), tahun 1984. Ketika KKG hendak menerbitkan majalah wanita/rumahtangga, saya yang sedang bekerja di Majalah Famili (rencana ingin bubar dengan pemodal lama) melamar ke sana. Ternyata saya dipanggil, mengikuti tes tertulis dan wawancara, dan akhirnya diterima. Hanya dua orang yang diterima, saya dan Rhenald itulah.

Waktu itu dia belum S-1, masih dalam pengerjaan skripsi. Saya juga begitu, kuliah di kelas (Sekolah Tinggi Publisistik/sekarang Institut Ilmu Sosial dan Politik) sudah selesai, tinggal menyusun skripsi. Tingkatannya masih Sarjana Muda. Jika pergi tugas meliput, kami sering keluar bareng. Dia saya boncengin naik sepeda motor. Saya juga pernah diajak mampir ke rumah orangtuanya di bilangan Kwitang, Senen, Jakarta Pusat.

Liputan kami adalah untuk mengisi halaman-halaman majalah yang baru bersifat dummy. Usai meliput, Rhenald tak segan-segan mengetik lagi untuk menyelesaikan skripsinya. Sementara saya sering asyik mencari liputan.

Kerja bareng kami tak ada setahun, karena majalah itu tidak jadi terbit, diganti oleh majalah mirip Paris Match yang diusung oleh Noorca Marendra Massardi, wartawan yang memang punya roh soal Prancis itu. Rhenald terus bekerja bersama Noorca sedangkan saya bergabung dengan teman-teman lain di Majalah Hai di bawah komandan Arswendo Atmowiloto. Majalah di bawah besutan Noorca berganti-ganti nama, pernah "Nama dan Peristiwa" (diambil dari salah satu rubrik di harian Kompas) sampai "Jakarta-Jakarta".

Sampai saya hijrah ke Tabloid BOLA, awal-awalnya tidak pernah jumpa. Hanya saya dengar kabar ia sudah selesai S-1 dan bukan lagi di redaksi tapi di bagian bisnis, sampai saya mendengar kabar ia sekolah di Amerika.

Saya sendiri semakin asyik dengan pekerjaan, berlanglangbuana di arena olahraga nasional maupun internasional, sekolah tak kunjung selesai, hingga pada suatu saat seorang teman masih di KKG mengajak makan siang bersama Rhenald yang sedang liburan di Indonesia. Kami makan siang di sebuah restoran di bilangan Pasar Baru Jakarta Pusat. Di restoran itu yang menjadi perhatian adalah saya (wah jadi ge-er nih). Ternyata banyak pelayan yang mengenali saya sebagai komentator sepakbola di televisi. Rhenald mengolok-olok: "Wah udah jadi selebriti nih, Li."

Ketika itu Rhenald belum dikenal. Tulisan-tulisannya belum muncul. Jangankan tulisannya, Tabloid Kontan yang pertama kali memuat kolomnya secara rutin juga belum terbit. Kami tidak berjumpa lagi setelah itu, kesibukan masing-masing menjadi hambatannya. Sampai saya dengar kabar ia telah selesai sekolah di Amerika-nya. Tulisannya juga sudah saya mulai baca di Kontan. Sampai akhirnya ia dikenal sebagai pakar manajamen, berseminar dari satu tempat ke tempat lain. Membuat buku, dan akhirnya dikenal sebagai pakar manajemen yang mengedepankan perubahan lewat buku-bukunya, "Change!" itu. Ia telah menjadi salah satu tokoh penting di negeri ini. Gantian jadinya: dia sudah jadi selebriti top.

Di sela-sela kesibukan saya dan dia, kontak masih dilakukan. Apalagi kalau ia diminta berceramah di almamaternya (KKG) dan pernah berbicara soal olahraga. Saya menjadi nara sumber yang digali habis olehnya. Belakangan dia juga sering saya jadikan nara sumber sehubungan kuliah saya di MM UGM.

Ketika saya ditunggu di tempatnya pada Minggu siang itu, ternyata ia baru saja menyelesaikan mentoring kepada mahasiswanya. Di situ juga ada wartawan Tempo yang akan mengupas lengkap profilnya. Kepada para mahasiswanya, saya diperkenalkan sebagai teman lama dan saya menyebut dari MM UGM, dia langsung berseloroh : "Saingan kita nih". Saya disuguhi makan siang sop iga dan rambutan dari kebunnya.

Tempat itu yang diberi nama "Rumah Perubahan" memang cukup luas dan asri. Bangunan yang kami duduki saat itu adalah tempat pelatihan berkapasitas 200 orang. Baru beberapa bulan selesai. Bangunan lain masih dalam penyelesaian, seperti kantor adiministrasi. Tempat yang luas mendekati satu hektar itu tidak jauh dari rumahnya di bilangan Jatimurni, Bekasi, Jawa Barat. Ada beberapa kolam yang diisi oleh ikan gurame, lele, hingga arwana Papua. Kalau menyangkut tanaman dan ikan, obrolan kami memang bertambah klop.

Di mana "perubahan"nya? Di situ memang tempat pelatihan untuk mengubah pemikiran maupun cara seseorang maupun institusi. Sedangkan implementasinya ia buktikan bersama seorang teman di UI lewat pengelolaan sampah. Sampah yang diambil dari rumah-rumah penduduk diolahnya kemudian dijual ke pabrik semen Indocement. Tempat pengolahan sampah juga tidak jauh dari rumah perubahan. Sedangkan mesin-mesing penghalus, pengepres, dibuatnya di tempat yang juga tidak jauh dari tempat itu.

Dengan adanya pengelolaan seperti dilakukannya ia ingin masalah sampah di kota-kota besar di Indonesia terselesaikan. Lewat pengelolaanya, sampah menjadi sumber penghasilan yang cukup besar. Si pengguna, Indocement, akan berkurang pengotoran udaranya dalam menggunakan bahan bakar sampah ini.

Sampah yang selama ini menjadi barang terbuang, bau, dan menjijikan, ia ingin ubah tak kalah seperti emas. Di beberapa daerah sudah mulai dirintisnya. Pada awalnya usahanya dijauhi orang, kini katanya sudah bagai magnit, didatangi setiap orang dan instansi.

Itulah makna perubahannya! Ia mulai dari yang paling menjijikan dan tidak terduga hasilnya.