Kamis, 29 Mei 2008

Tebet

Banyak media belakangan mengungkap perkembangan daerah Tebet, Jakarta Selatan. Jika Anda ke daerah ini, memang dapat dijumpai perubahan lingkungan, terutama di Tebet Utara. Perubahan itu menyangkut soal makanan dan pakaian. Kaum muda yang banyak datang ya untuk hang out -lah atau berwisata kuliner dan belanja baju.

Di sana bukan hanya warung Tegal Warmo yang sudah lama kita kenal, tapi juga sudah beraneka ragam makanan. Ada RM Bebek Ginyo, Ayam Bakar Mas Mono, Burger D'John, Comic Cafe, Kambing Bakar Madu, Soto Kudus, Bakso Ceker Bandung, Soto Gebrak, sampai Bakso Tukul. Perkembangan di Tebet Utara yang menonjol adalah munculnya Factory Outlet (FO), mirip jalan Dago di Bandung yang mulai ramai. Pelopor toko pakaian sisa ekspor ini adalah Endoors. Setelah itu bermunculan bak jamur. Alhasil memang kalau ke daerah sana pada waktu jam makan atau sore-malam, akan dijumpai kemacetan.

Saya sudah cukup lama mengikuti perkembangan di sana. Maklum, dua anak saya menghabisi masa sekolah menengahnya di daerah sana. Kebetulan pula sering mampir ke warung Warmo yang buka 24 jam dengan menu banyak pilihan, kelas warteg tentunya. Semakin dinihari di Warmo bakal semakin ramai, khususnya oleh muda dan mudi yang baru saja melepas kepenatan di tempat-tempat hiburan. Di depan Warmo kebetulan ada Wisma Tebet, tempat menginap kelas menengah untuk fulltime maupun transit.

Perumahan-perumahan Tebet kebanyakan dulu ceritanya pindahan dari gusuran orang-orang Betawi akibat pembangunan Gelora Bung Karno maupun pembangunan Gedung DPR-MPR Senayan. Mereka mendapat pindahan ke situ, tapi tak lama juga rumah-rumah penduduk asli Jakarte ini tergusur lagi karena mereka banyak menjual lagi kepada penduduk pendatang atau dijadikan perumahan Tebet Mas maupun Rumah Susun. Peninggalan mereka yang jelas adalah para penjual bunga di depan Perumahan Tebet Mas, mirip Rawa Belong yang dikenal dengan pusat penjualan aneka bunga, bukan saja tingkat nasional tapi sudah internasional.

Perkembangan juga terlihat di sekitar Lapangan Ros Raya. Segala macam makanan tersedia, dari makanan Sunda, Jawa, Makassar, hingga Arab. Terus menuju Kampung Melayu, beragam sate bisa dijumpai, plus Kebab dan Bakso Tembak.

Kalau antar atau jemput anak pertama tidak begitu perhatian dengan Tebet, karena lokasi sekolah di Bukit Duri dan Manggarai. SMA Dinda, anak saya yang pertama di SMA 8 Bukit Duri, sedangkan SMP-nya di SMP 3 Manggarai. Tapi, sempat beberapa minggu masuk ke wilayah Tebet, karena SMA 8 kebanjiran ia harus belajar sementara di SD bilangan Tebet.

Nah, yang sering hingga sekarang adalah antar jemput si bungsu Anggia. SD di Cibono Selamet Riyadi, SMP di 115 Lapangan Ros, dan sekarang SMA 26 Tebet. Otomatis sehari-hari melewati sana.

Diperkirakan daerah itu akan tumbuh lagi resto maupun FO, karena sampai sekarang masih dijumpai bangunan yang masih direnovasi. Rata-rata rumah yang tadinya ditinggali penduduk direnovasi menjadi tempat-tempat itu.

Perkembangan Tebet memang menjadi menarik diikuti. Di lain hal mendatangkan perekonomian tapi mengundang kemacetan juga, mirip Bandung. Di hari libur banyak penduduk Jakarta nyerbu ke Kota Kembang itu untuk mampir ke FO atau tempat-tempat makanan. Bedanya, Tebet masih bisa dinikmati untuk makan dan minum di teras resto, sambil menyaksikan kemacetan. Kemacetannya masih bisa ditolerir-lah, karena hanya pada lokasi-lokasi itu saja.

Mau ke sana? Kali aje kite ketemu. Nyok!

Rabu, 07 Mei 2008

Carolus

Carolus yang saya maksud di sini adalah rumah sakit yang terletak di bilangan Salemba. Pastilah bagi masyarakat Jakarta, rumah sakit itu banyak meninggalkan kenangan, sampai-sampai ada lagu jaman dulu yang mengisahkan tentang kisah percintaan di sana.

Apakah judul lagunya sama dengan nama rumah sakit, saya lupa. Siapa pencipta atau penyanyinya juga lupa. Tapi, ada syair pertama yang berbunyi dan saya masih ingat:

Aku berpisah di Sint Carolus
Air mataku berlinang

Seterusnya bagaimana, saya lupa syairnya. Tapi, kalau mau tahu secara ringkas riwayat rumah sakit ini bisa klik di websitenya. Hebat ya, rumah sakit bisa punya website. Hebat untuk ukuran Indonesia, lho!

Di dalam layanan itu paling tidak kita mengetahui bahwa rumah sakit itu berdiri sejak tahun 1917. Gile, berarti sebelum Sumpah Pemuda mereka sudah ada. Dua tahun kemudian rumah sekit dibuka untuk umum dengan 40 tempat tidur. Seterusnya bagaimana lihat saja di http://www.rscarolus.or.id/.

Yang saya mau ceritakan adalah kenangan buat saya di rumah sakit itu. Besar buat saya, karena di tempat itulah dua anak perempuan saya lahir. Kemudian menjadi rumah sakit di mana istri pernah menjalani operasi.

Cerita soal anak, Carolus bukan tempat kelahiran saja. Tapi juga perawatan ketika mereka sakit, khususnya adalah demam berdarah. Lahir di sana, kemudian ketika masih kanak-kanak pernah dirawat di sana. Dan saat remaja, mereka pun sempat dirawat di sana.

Pada pertengahan April 2008 lalu, saya kembali bermalam di sana. Berada di suasana rumah sakit yang memiliki taman dengan pohon-pohon dan bangunan tua. Saya menunggui si bungsu Anggia yang berusia 16 tahun terserang demam berdarah. Sebelumnya, si sulung, Dinda, yang kini hampir menyelesaikan kuliahnya di ITB, beberapa tahun lalu sempat pula dirawat di sana.

Tidak banyak perubahan berarti, kecuali pada bangunan depannya. Tempat unit daruratnya masih seperti dulu, begitu pula dengan pengambilan darah, laboratorium, lift, tangga, tempat tunggu, dan sebagainya.

Semua tidak berubah, ya tidak apa-apa. Yang penting masih layak pakai. Begitu pula dengan sisdurnya. Soal sisdur inilah yang tentu menjadi keunggulan Carolus. Apalagi menyangkut kesehatan, sisdur menjadi daya tarik pasien. Sisdur yang dimaksud tidak terlepas dari pelayanan pula. Pelayanan dokter, pelayanan suster, dan pelayanan lainnya.

Keragaman suku dan agama juga terlihat di sana. Carolus identik dengan organisasi Nasrani. Tapi, pelayanan kepada non-Nasrani tetap saja baik. Uniknya, saya melakukan shalat di kamar pasien dengan tanda salib tergantung di dinding kamar. Saya punya alasan, itu terjadi karena keterbatasan tempat dan kondisi.

Anggia sekamar dengan keluarga yang ragam. Seorang ibu yang sedang dirawat dari keluarga Nasrani, sedangkan sang suami yang setia menunggu adalah muslim yang taat dengan shalat. Ia juga tak henti melakukan shalat di kamar. Anak-anaknya ada yang Nasrani dan Islam.

Kebenaran beragama kita serahkan kepada keyakinan masing-masing. Kita tidak boleh memaksakan dan dipaksakan oleh seseorang untuk melakukan keyakinan.

Kehadiran di Carolus itu berbarengan dengan boomingnya film "Ayat-Ayat Cinta" dan akan dibekukannya organisasi Ahmadiyah di Tanah Air.