Minggu, 20 Januari 2008

Rhenald Kasali

Sudah lama saya ingin mengunjungi "Rumah Perubahan" yang didengung-dengungkan oleh teman lama saya, Rhenald Kasali. Kalau kami telepon-teleponan atau sms-an bertanya kabar atau kegiatan, ia selalu mengungkapkan soal kegiatan itu. Niat itu kesampaian pada Minggu (20/1) lalu.

Rhenald menjadi teman lama sejak saya bergabung di Kelompok Kompas Gramedia (KKG), tahun 1984. Ketika KKG hendak menerbitkan majalah wanita/rumahtangga, saya yang sedang bekerja di Majalah Famili (rencana ingin bubar dengan pemodal lama) melamar ke sana. Ternyata saya dipanggil, mengikuti tes tertulis dan wawancara, dan akhirnya diterima. Hanya dua orang yang diterima, saya dan Rhenald itulah.

Waktu itu dia belum S-1, masih dalam pengerjaan skripsi. Saya juga begitu, kuliah di kelas (Sekolah Tinggi Publisistik/sekarang Institut Ilmu Sosial dan Politik) sudah selesai, tinggal menyusun skripsi. Tingkatannya masih Sarjana Muda. Jika pergi tugas meliput, kami sering keluar bareng. Dia saya boncengin naik sepeda motor. Saya juga pernah diajak mampir ke rumah orangtuanya di bilangan Kwitang, Senen, Jakarta Pusat.

Liputan kami adalah untuk mengisi halaman-halaman majalah yang baru bersifat dummy. Usai meliput, Rhenald tak segan-segan mengetik lagi untuk menyelesaikan skripsinya. Sementara saya sering asyik mencari liputan.

Kerja bareng kami tak ada setahun, karena majalah itu tidak jadi terbit, diganti oleh majalah mirip Paris Match yang diusung oleh Noorca Marendra Massardi, wartawan yang memang punya roh soal Prancis itu. Rhenald terus bekerja bersama Noorca sedangkan saya bergabung dengan teman-teman lain di Majalah Hai di bawah komandan Arswendo Atmowiloto. Majalah di bawah besutan Noorca berganti-ganti nama, pernah "Nama dan Peristiwa" (diambil dari salah satu rubrik di harian Kompas) sampai "Jakarta-Jakarta".

Sampai saya hijrah ke Tabloid BOLA, awal-awalnya tidak pernah jumpa. Hanya saya dengar kabar ia sudah selesai S-1 dan bukan lagi di redaksi tapi di bagian bisnis, sampai saya mendengar kabar ia sekolah di Amerika.

Saya sendiri semakin asyik dengan pekerjaan, berlanglangbuana di arena olahraga nasional maupun internasional, sekolah tak kunjung selesai, hingga pada suatu saat seorang teman masih di KKG mengajak makan siang bersama Rhenald yang sedang liburan di Indonesia. Kami makan siang di sebuah restoran di bilangan Pasar Baru Jakarta Pusat. Di restoran itu yang menjadi perhatian adalah saya (wah jadi ge-er nih). Ternyata banyak pelayan yang mengenali saya sebagai komentator sepakbola di televisi. Rhenald mengolok-olok: "Wah udah jadi selebriti nih, Li."

Ketika itu Rhenald belum dikenal. Tulisan-tulisannya belum muncul. Jangankan tulisannya, Tabloid Kontan yang pertama kali memuat kolomnya secara rutin juga belum terbit. Kami tidak berjumpa lagi setelah itu, kesibukan masing-masing menjadi hambatannya. Sampai saya dengar kabar ia telah selesai sekolah di Amerika-nya. Tulisannya juga sudah saya mulai baca di Kontan. Sampai akhirnya ia dikenal sebagai pakar manajamen, berseminar dari satu tempat ke tempat lain. Membuat buku, dan akhirnya dikenal sebagai pakar manajemen yang mengedepankan perubahan lewat buku-bukunya, "Change!" itu. Ia telah menjadi salah satu tokoh penting di negeri ini. Gantian jadinya: dia sudah jadi selebriti top.

Di sela-sela kesibukan saya dan dia, kontak masih dilakukan. Apalagi kalau ia diminta berceramah di almamaternya (KKG) dan pernah berbicara soal olahraga. Saya menjadi nara sumber yang digali habis olehnya. Belakangan dia juga sering saya jadikan nara sumber sehubungan kuliah saya di MM UGM.

Ketika saya ditunggu di tempatnya pada Minggu siang itu, ternyata ia baru saja menyelesaikan mentoring kepada mahasiswanya. Di situ juga ada wartawan Tempo yang akan mengupas lengkap profilnya. Kepada para mahasiswanya, saya diperkenalkan sebagai teman lama dan saya menyebut dari MM UGM, dia langsung berseloroh : "Saingan kita nih". Saya disuguhi makan siang sop iga dan rambutan dari kebunnya.

Tempat itu yang diberi nama "Rumah Perubahan" memang cukup luas dan asri. Bangunan yang kami duduki saat itu adalah tempat pelatihan berkapasitas 200 orang. Baru beberapa bulan selesai. Bangunan lain masih dalam penyelesaian, seperti kantor adiministrasi. Tempat yang luas mendekati satu hektar itu tidak jauh dari rumahnya di bilangan Jatimurni, Bekasi, Jawa Barat. Ada beberapa kolam yang diisi oleh ikan gurame, lele, hingga arwana Papua. Kalau menyangkut tanaman dan ikan, obrolan kami memang bertambah klop.

Di mana "perubahan"nya? Di situ memang tempat pelatihan untuk mengubah pemikiran maupun cara seseorang maupun institusi. Sedangkan implementasinya ia buktikan bersama seorang teman di UI lewat pengelolaan sampah. Sampah yang diambil dari rumah-rumah penduduk diolahnya kemudian dijual ke pabrik semen Indocement. Tempat pengolahan sampah juga tidak jauh dari rumah perubahan. Sedangkan mesin-mesing penghalus, pengepres, dibuatnya di tempat yang juga tidak jauh dari tempat itu.

Dengan adanya pengelolaan seperti dilakukannya ia ingin masalah sampah di kota-kota besar di Indonesia terselesaikan. Lewat pengelolaanya, sampah menjadi sumber penghasilan yang cukup besar. Si pengguna, Indocement, akan berkurang pengotoran udaranya dalam menggunakan bahan bakar sampah ini.

Sampah yang selama ini menjadi barang terbuang, bau, dan menjijikan, ia ingin ubah tak kalah seperti emas. Di beberapa daerah sudah mulai dirintisnya. Pada awalnya usahanya dijauhi orang, kini katanya sudah bagai magnit, didatangi setiap orang dan instansi.

Itulah makna perubahannya! Ia mulai dari yang paling menjijikan dan tidak terduga hasilnya.