Selasa, 29 April 2008

Wisuda 24 April 2008

Rangkaian panjang perjalanan wisuda Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta periode 24 April 2008 berakhir sudah. Persiapan menuju Kota Gudeg yang menjadi tempat menginap, pendaftaran, sekaligus pengukuhan kelulusan berakhir dengan kelegaan. Mahasiswa dari luar Yogyakarta, khususnya dari Jakarta berbondong datang ke sana, membawa sanak famili. Ada yang memakai mobil sendiri, kereta api, dan juga tentu pesawat terbang. Bagi yang sudah bekerja cuti diambil paling sedikit satu minggu. Alamak kayak cuti Hari Raya saja.

Saya berada di dalamnya. Saya berangkat pada Selasa, 22 April menggunakan kereta di saat anak bungsu saya baru saja keluar dari rumah sakit karena terkena demam berdarah. Di Yogya, saya bermalam seperti ketika mengikuti mata kuliah Global Bisnis Environment dan sidang tesis, yakni di Wisma MM UGM yang terletak di Barek, tidak jauh dari Kampus maupun tempat pengukuhan di Graha Sabha Pramana.

Apa yang menarik dari perhelatan itu?

Di malam pelepasan yang berlangsung di halaman belakang Kampus MM dan sayang tidak dihadiri oleh Direktur MM, Pak Hargo Utomo yang sedang tugas di Bangkok Thailand, ada beberapa pengumuman penting. Lulusan termuda dari 147 lulusan adalah wisudawan berusia 22 tahun, sedang yang paling tua 56 tahun.

Saya berada di mana? Lumayan belum yang paling tua: dua hari lagi genap 50 tahun.

Lalu soal IPK, yang paling tinggi adalah 3,90 yang kebetulan diraih oleh teman sekelas saya (AP 6B) Widyarini. IPK rendah tidak disebutkan, tapi rata-rata adalah 3,44. Ada 10 wisudawan yang memperoleh cumlaude, yakni yang memiliki IPK di atas 3,75.

Saya berada di mana? Aha masih untung di atas rata-rata, tepatnya 3,57.

Di malam pelepasan itu, para wisudawan sempat digojlok berdiri di atas panggung untuk melakukan berbagai aksi. Pastilah dimanfaatkan untuk acara foto bersama. Beberapa dosen yang hadir, tentu yang saya kenal, di antaranya adalah Pak Agus Setiawan, Pak Setijono Miharjo, Pak Djamaludin Ancok, Pak Harsono, dan banyak lagi.

Widyarini yang karyawan Bank Niaga yang akrab dipanggil Ninin itu akhirnya menjadi bintang ketika pengukuhan keesokan harinya di Graha Sabha Pramana. Ia juga menjadi yang terbaik se Fakultas Ekonomi dan Bisnis yang membawahi MM itu. Ia wakil fakultas untuk menerima ijazah dari rektor UGM, tentu bersama wakil-wakil fakultas lainnya dan lulusan S3. Di luar para terbaik itu, ijazah diserahkan oleh Dekan Fakultas masing-masing.

Jumlah wisudawan yang dikukuhan pada 24 April itu sebanyak 900 orang. Para wakil fakultas dan pemilik predikat cumlaude itu mamakai toga yang berbeda dengan yang tanpa prestasi. Bolehlah sebagai bentuk penghargaan kepada mereka yang berprestasi.

Apa yang menarik dari pengukuhan itu?

Keramaian dengan munculnya studio-studio foto buatan untuk kenangan para wisudawan menjadi ciri khas. Mereka adalah salah satu dari penghasil pendapatan daerah Yogyakarta. Penghasil yang lain adalah hotel-hotel tempat menginap, para pedagang Malioboro, tempat-tempat makanan favorit, dan banyak lagi. Ketika itu baru 900 wisudawan yang kalau dikalikan dengan keluarga barangkali sekitar 2000 orang yang berkunjung ke Yogya.

Itu terjadi tiga kali dalam setahun. Dan ini baru wisuda pascasarjana, belum lagi S1 yang jumlahnya pasti lebih banyak lagi. Belum lagi para mahasiswa yang kos di sana memberikan sumbangan ke daerah. Orang-orangtua mereka minimal satu tahun sekali mengunjungi dengan membawa sanak famili. Belum lagi.....belum lagi....

Ya, Yogya setelah saya dikukuhkan sebagai anggota Keluarga Alumni Gadjah Mada (KAGAMA) memang menjadi kota yang cukup penting buat saya. Mau tak mau harus memikirkan untuk memajukan daerah ini. Tentu selain untuk kemajuan ilmu, bangsa dan negara, serta diri dan keluarga.

Hanya ada yang nyeletuk ketika baru menerima kartu KAGAMA. Kok jelek amat ya? Nggak modern!

Waktu membacakan nama demi nama wisudawan untuk menerima ijazah satu persatu ternyata tidak ada yang tertukar. Tapi, masih saja ada yang salah ketik di ijazah maupun di transkrip. Ya, panitia juga manusia.

Lepas dari itu, apresiasi buat panitia wisuda yang telah bekerja dengan ...sempurna! Makanannya waktu acara pelepasan enak-enak. Matur nuwun !

Selasa, 08 April 2008

Kemayoran

Nama Kemayoran menjadi tidak asing buat kita, bukan hanya penduduk Jakarta tapi juga seluruh Indonesia. Nama itu di era 1980 ke bawah sangat populer, karena menjadi nama bandar udara, nasional maupun internasional. Beberapa event besar pernah "manggung" di lapangan terbang Kemayoran itu.

Sebut misalnya kedatangan pahlawan-pahlawan bulutangkis setiap mereka merebut juara Piala Thomas di luar negeri. Jalan-jalan di seputar bandara selalu dijubeli masyarakat yang ingin menyaksikan Rudy Hartono dkk. berikut Piala Thomas dari dekat. Begitu juga jika tamu negara datang, penduduk bercampur baru dengan murid-murid sekolah menyambut kedatangan sang tamu bersama Presiden kita waktu itu (Soekarno dan Suharto).

Moment yang juga tidak bisa dilupakan adalah pelaksanaan Indonesia Air Show pada 1986 yang menghadirkan pesawat-pesawat canggih dan akrobatik di udara Jakarta, misalnya Mirage 2000, Red Arrows, dan banyak lagi pesawat kiriman negara-negara adidaya.

Selain pernah menjadi lapangan terbang terbesar di Indonesia, nama Kemayoran juga dikenal untuk menyebut keaslian daerah di Jakarta tempo dulu. Ada istilah Keroncong Kemayoran di situ, ada pula penyanyi beken Benyamin Sueb yang sudah almarhum yang lahir dan besar dan kini menjadi ikon kota Jakarte. Nama sang artis itu kini dipakai untuk jalan bekas landasan pacu bandara Kemayoran.

Ketika masih menjadi pusat penerbangan sipil (yang militer sampai sekarang masih ada di Halim Perdana Kusuma), jalan maupun bangunan di sana masih tertata. Tapi, setelah ditinggal oleh burung-burung baja yang besar-besar itu, Kemayoran menjadi semrawut.

Memang ada Pekan Raya Jakarta (PRJ) yang diselenggarakan setahun sekali (setelah dipindah dari Taman Monas) dan selalu dibuka oleh Presiden, tapi suasana kesemrawutan tetap menyerbu. Selain PRJ, di sana juga sering digelar pameran berskala nasional maupun internasional.

Memang juga ada bangunan-bangunan tinggi sekarang ini, yakni berupa apartemen dan lapangan golf, serta cafe-cafe. Tapi, tetap saja suasana semrawut terpancar. Semrawut di sini bukan berarti banyaknya bangunan-bangunan kumuh, tapi juga bangunan-bangunan tinggi itu sepertinya menelan lahan-lahan penghijauan atau ruang terbuka yang tadinya masih banyak di sana.

***

Berbicara Kemayoran di sini bukan hanya area bekas lapangan terbang saja, tapi juga daerah-daerah di sekitar, seperti jalan Garuda, Angkasa, Rajawali, Haji Ung, Utan Panjang, Bendungan Jago, Serdang, Sunter, hingga seberang Ancol.

Saya menjadi saksi dari perubahan di sana, karena dari kecil hingga tua seperti sekarang ini tidak lepas dari daerah itu. Saya lahir di bilangan Senen dan tinggal di Kali Baru Timur (Bungur/Poncol), tidak jauh dari Kemayoran. Kemudian sejak 1976 pindah ke daerah Serdang yang dulu sering dibisingkan oleh deru pesawat. Tapi, ketika Indonesia Air Show, punya kenikmatan tersendiri menyaksikan atraksi itu. Saya juga sempat menyaksikan kedatangan tim Piala Thomas dari pinggir jalan Angkasa, yang entah terjadi pada tahun berapa (saya lupa).

Ketika masih kanak-kanak, bantaran kali Kali Baru Timur yang tembus ke Kali Item (Haji Ung), masih bisa dipakai untuk bermain sepakbola. Tapi, sekarang di kiri kanan kali sudah berdiri bangunan kios dan warung entah apalah.

Kalau ada pabrik tahu atau tempe di pinggir kali, memang sudah dari dulu. Juga ada pasar tradisional yang bernama Pasar Nangka. Atau juga ada kegiatan pedagang kaki lima di seputarn jembatan H.Ung, sduah dari dulu.

Tapi, yang lebih memperparah dan ini kaitannya dengan penghijauan adalah perkembangan bekas bandara dulu. Aparteman bertebaran, sehingga menyesakkan pemandangan. Apartemen itu semakin disindir kehadirannya, sebab diharapkan ada pula tower-tower untuk kelas menengah, bukan apartemen untuk kelas atas.

Ketika Wakil Presiden Jusuf Kalla meresmikan tower-tower itu ternyata belum dibangun. Jangan kan sudah berdiri kerangka, baru berupa miniatur. Wapres dikibuli oleh pengusaha yang tentu lebih untung membangun apartemen untuk kelas atas ketimbang tower-tower untuk menengah ke bawah.

Itulah Kemayoran kini, menjadi sarang penyamun juga.