Jumat, 28 Agustus 2009

KASAKSIAN YAN DARYONO

Nama Yance memang ke Belanda-Belanda an, tapi bisa juga dianggap sebagai kemanjaan sebuah panggilan seseorang. Itulah yang dialami oleh Yan Daryono, yang oleh keluarganya dipanggil Yance. Dia adalah kawan lama saya, dari sebelum nikah, punya anak, sampai sekarang. Hampir 30 tahun. Perhubungan di antara kami tidak putus, bahkan sekarang saya baru benar-benar masuk dalam keluarga besarnya.

Baru masuk? Kan berkawan sudah lama? Iya, Yan -begitu biasa saya panggil, memang anak yang agak idealis sehingga hubungan dengan keluarga besarnya agak berkurang. Ketika ia menikah tahun 1980-an, saya ikut hadir dan hanya satu atau dua saudaranya yang hadir. Ia banyak hidup tidak bersama keluarganya. Saya mengikuti terus perjuangan seniman ini, dari usahanya membuka rumah produksi di Jakarta maupun di Bandung. Di antara waktu-waktu itu, kalau tidak bertemu ya kontak-kontakan.

Ketika anak saya pertama Dinda kuliah di ITB, dia pula yang saya jadikan wali dalam pengisian formulir. Tentu berikut pencatuman alamat rumahnya di Bandung. Saya selalu menyempatkan diri mampir ke rumah atau kantornya jika menengok Dinda. Setelah Dinda lulus, dia juga saya kabari. Dan sejak itu saya jarang sekali ke Bandung.

Hingga pada suatu ketika beberapa bulan lalu datang SMS darinya. Dia mengabarkan kalau dia sedang sakit stroke mengarah ke otaknya. Dia meminta bantuan jika memang punya. SMS itu bikin geger, saya cepat-cepat ke Bandung. Ternyata yang geger bukan saya saja, tapi juga teman-teman yang lain, bahkan keluarganya. Padahal tadinya ia tidak ingin berita sakitnya itu sampai ke keluarga. Rupanya ada SMS yang terkirim ke Tantenya. Akhirnya seluruh keluarga turun tangan. Terutama tentu "Mami"nya. Maminya dan adik-adiknya datang ke Bandung. Lalu dikesimpulkan agar dia tinggal bersama keluarga besarnya di Pamulang untuk diobati.

Dari sinilah saya "masuk" ke keluarganya. Saya mengikuti perkembangannya hingga ia lolos dari serangan stroke yang lebih berbebahaya. Yang membahagiakan, keluarga besarnya bahu membahu ikut mendorongnya mewujudkan kreativitasnya. Mau tahu yang diwujudkannya? Pameran lukisan.

Yan, selain aktif menulis (menjadi wartawan, menulis skenario, buku, novel, puisi) juga memang bisa melukis. Pamerannya terwujud pada 10 hingga 14 Agustus dengan mengambil tempat di gedung Dewan Pers, Jalan Kebon Sirih Jakarta Pusat. Pameran yang diberi judul "Kesaksian Yan Daryono" bekerja sama pula dengan Rakyat Merdeka Online.

Pada hari pembuka seluruh keluarga Yan datang, bersama tentu undangan lainnya, seperti Rizal Ramli, Adhi Massardi, Iwan Burnani Toni (anggota Bengkel Teater), dan banyak lagi. Lukisannya lebih banyak berwarna kerakyatan. Bahkan pameran itu dibarengi oleh hobi yang lain, fotografi. Juga soal kerakyatan.

Dalam kesempatan bertemu dengan Yan di Pamulang, berkali-kali saya bilang kepadanya kalau dirinya beruntung memiliki keluarga yang begitu menyayangi. Jangan menjauh lagi demi idealismenya.

Saya pun mulai mendekat dengan keluarganya yang dulu meski pernah bertemu tidak sempat berbincang lebih lama. Ada maminya yang punya cerita panjang mendidik putra-putrinya, ada adiknya Prita, Yasa, maupun Tri.

Dari maminya, saya mendapat banyak cerita lebih detil tentang sahabat saya ini. Ia pernah dekat dengan Yapto yang ketika mudanya sangat ditakuti kawan maupun lawan. Yan juga sangat dekat dengan almarhum WS Rendra. Bahkan menurut ibunya, Rendra banyak mengubah kehidupan Yan.

Saya menyukai berbincang dengan Yan, karena ia punya banyak konsep segar dalam segala hal. Hal-hal itulah yang menurut ibunya diperoleh dari Rendra. Pendidikannya tidak sampai tinggi, karena ia merasa ia bisa mencerna segala persoalan lewat otodidaknya. Kalau ibunya bilang: Yance konseptor ulung.

Dari kedekatannya lagi bersama keluarga inilah, Yan menemukan kembali suasana keluarganya sedangkan keluarganya lebih mengetahui siapa sosok anak sulung ini.

Saya sendiri lebih mengetahui secara dalam siapa-siapa yang ada di dalam sejarah Yance. Di antaranya adalah Chairul Tandjung, pengusaha yang memiliki bank dan stasiun televisi itu. Hubungan keluarga Chairul dengan Yan sangat dekat, sampai-sampai Yan lah yang menjadi wali murid jika Chairul mempunyai persoalan di sekolah menengahnya dulu.

Kedekatan Chairul dan Yan sudah saya buktikan. Pameran lukisnya juga ada sponsor dari Chairul. Dalam kesempatan bertemu dengan Chairul beberapa kali, saya selalu mengingatkan perannya sebagai sponsor, sampai akhirnya ia benar-benar mencairkan dana untuk sponsor lukisan Yan.

Mami Yan bukan sekadar ibu rumah tangga, walau ia selalu menyebut kalau dirinya sebagai ibu rumah tangga sejati. Ia seorang pengusaha hotel, yang katanya dari empat kamar sampai menjadi puluhan kamar di Belitung. Tapi, sekarang karena ada suatu persoalan tempat penginapan itu ditinggalkan. Ia juga aktif di persatuan hotel Indonesia. Dalam menghidupi keempat anaknya seorang diri karena ayahnya Yan sudah meninggal dunia, ia berpikir sangat lincah. Salah satu cara yang berkesan buat saya, ia sering menitipkan modal kepada pedagang-pedagang.

Bakat usaha yang dimiliki Mami Yan menurun kepada Prita, adik Yan. Prita boleh jadi menjadi kebanggan keluarga ini. Dari bekerja di Clarck Hatch, hingga disekolahkan oleh pemilik usaha fitness itu ke London, sampai akhirnya ia mempunyai sekolah komunikasi prestisius, London School (London School Public Relation). Dari hanya kursus, kemudian tingkat D1, D3 sekarang sudah merambat ke tingkat Strata 2. Dari hanya dua ruangan, sekarang punya dua tempat di lokasi strategis di Jakarta.

Kehadiran Prita ditambah lagi dengan kehadiran sang menantu, Kemal Effendi Gani, yang kini menjadi Pemimpin Redaksi majalah Swa. Paduan antara Prita dan Kemal begitu kuat. Prita lewat London School-nya sedangkan Kemal dengan award-award Swa yang juga punya gengsi itu. Beberapa kali saya sempat bertemu dengan pasangan dengan tiga anak itu.

Ada yang selalu saya ingat jika bertemu dengan mereka. Jika berpisah Prita selalu bilang: "Terimakasih dengan kiriman ayamnya."

Aha, itu pasti kiriman dari Maminya. Karena yang selalu memesan ayam kampung kepada saya adalah Maminya. Setiap pesanan, saya selalu mengantarnya. Mengantar ayam, sambil menengok Yance sambil pula bercerita banyak dengan Maminya. Bersahabat dan belajar bisnis.

Kamis, 06 Agustus 2009

LAPANGAN BANTENG

Bagi masyarakat Jakarta, area Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, sudah menjadi akrab. Mereka juga rata-rata pernah berkunjung atau melewati tempat itu. Kalau sekarang ke sana, Anda akan menjumpai pameran yang semakin tahun memberikan ikon tempat itu, yaitu Pameran Flora dan Fauna atau Pameran Flona. Pameran itu berlangsung sejak 17 Juli lalu dan akan berakhir pada 20 Agustus mendatang. Biasanya memang berlangsung selama sebulan.

Bagi orang yang sudah terbiasa melihat pameran itu, biasanya jika ingin membeli tanaman menunggu pada hari-hari akhir. Nah pada saat itu, tanaman biasanya diobral.

Bagi saya, Lapangan Banteng selain sekarang menjadi arena kunjungan menyaksikan Pameran Flona tersebut, juga banyak cerita. Sekolah di SMA I yang terletak di Jalan Budi Utomo, tidak jauh dari tempat ini. Pada tahun 1970-an itu di bawah tugu pembebasan Irian Barat banyak kegiatan di Lapangan Banteng. Ada terminal bis dalam kota terbesar di Jakarta juga menjadi arena berolahraga, khususnya sepakbola.

Terminal bis sekarang sudah tidak ada, diganti oleh taman yang setiap tahunnya diisi oleh kegiatan Pameran Flona itu. Sementara lapangan sepakbola masih ada. Satu bertribun dengan lintasan atletiknya, satunya lagi tidak dan di sampingnya ada lapangan basket. Ketika masih SMA, tempat itu adalah tempat berolahraga kami. Bahkan tidak jarang sepulang sekolah kami bertanding satu kelas dengan kelas lain.

Di lapangan itu juga banyak digunakan oleh klub-klub sepakbola, semisal dulu MBFA, Honda, dan banyak lagi. MBFA yang paling dikenal dengan pelatih "Si Bung" -nya dan banyak menelorkan pemain-pemain legendaris, seperti Iswadi Idiris, Surya Lesmana, dan banyak lagi. Dulu ketika klub Jayakarta masih jaya-jayanya sering melakukan uji coba di lapangan itu. Saya tidak ketinggalan menyaksikan dari pinggir lapangan, misalnya Andi Lala dkk. beraksi.

Di luar Lapangan Banteng dikelilingi oleh gedung-gedung bersejarah. Ada gedung Departemen Keuangan yang dibangun pada tahun 1876 oleh Daendels, lalu Kantor Pos, Gereja Kathedral, Mesjid Istiqlal, Hotel Borobudur, dan Kantor Departemen Agama. Khusus untuk Mesjid Istiqlal, saya merasa bangga ikut menjadi saksi jalannya pembangunan dari pemasangan marmer sampai megah seperti sekarang ini. Sebab masa-masa SMA 1974-76, saya tidak menyiakan diri setiap shalat Jumat di sana. Pada saat itu pembangunan baru pada tahap pemasangan marmer, baik di dinding maupun lantai.

Sejarah Lapangan Banteng sendiri cukup lama. Siapa sangka kalau dulu bernama Lapangan Singa, karena ada patung singa di sebuah tugunya. Di zaman Belanda, untuk mengejek kekalahan Napoleon di Waterloo Belgia pada 1815, maka area tersebut dinamakan Waterloo Plein. Tadinya juga ada patung JP Coen, pendiri kota tersebut. Namun, ketika Jepang masuk ke Indonesia pada 1942 patung tersebut dihancurkan.

Lapangan Banteng memang bersejarah, baik untuk orang-orang pada masa sebelum kemerdekaan maupun kita yang mengisi kemerdekaan itu. Apalagi di saat tempat itu dijadikan terminal bis. Menjadi tempat berkumpulnya anak-anak sekolah yang mau berpacaran, sekedar janji, pelarian bagi yang bolos, atau bahkan bisa juga menjadi tempat nongkrongnya para pencopet.