Selasa, 27 November 2007

Budi Utomo Our SMA

Bagi pemirsa Trans TV dan mengamati iklan-iklan layanan, pada tahun lalu sering dikumandangkan lagu berjudul : "Budi Utomo Our SMA" sebagai latarbelakang iklan layanan reuni SMA I Budi Utomo. Beberapa hari lalu iklan reuni akbar SMA I Budi Utomo juga bisa dilihat menyongsong reuni pada hari Minggu, 25 November lalu di Kemayoran.

Trans TV memang belakangan identik dengan SMA I Jakarta. Maklum sang bos, Chairul Tanjung, adalah alumni dan sekarang menjadi Ketua Ikabudut (Ikatan Alumni SMA I Budi Utomo). Disebut juga Budi Utomo, karena sekolah ini terletak di jalan Budi Utomo, tepatnya nomor 7. Resminya sekarang bernama SMU I Jakarta. Di jalan ini bukan hanya SMU, ada pula STM I (gedungnya di sebelah SMU I) dan SMP II. Di samping kiri gedung dulu adalah rumah tahanan militer yang terkenal di mana Subandrio pernah ditahan di situ.

Dulu, tak jauh dari situ ada pusat terminal bus di Jakarta, yaitu Lapangan Banteng. Nama ini sampai sekarang tetap dipakai dengan lapangan sepakbola dan buat pameran flora flona pada bulan Agustus setiap tahunnya. Sebuah patung "Pembebasan Irian Barat" masih tegak berdiri di tengah-tengah Lapangan Banteng.

Tak jauh dari situ juga dulu ada komplek Siliwangi yang anggota keluarganya banyak sekolah di SMA I. Komplek itu tergusur, namun bekas penghuninya sampai sekarang masih mengadakan perikatan yang kuat.

Kok saya sampai hafal dengan peta di sekitar Budi Utomo, khususnya SMA I? Ya, karena saya juga alumni sekolah tersebut. Masuk pada tahun 1974 dan lulus tahun 1976. Orang bilang, saya ini angkatan 76. Chairul Tanjung kalau tak salah adalah angkatan 1982.

SMA I di era saya maupun sebelumnya memang menjadi kebanggaan tersendiri. Sekolah ini dimasuki oleh berbagai siswa, dari yang paling pintar, aktif organisasi, anak pejabat, anak pengusaha, sampai yang paling bandel. Sekolah membawa senjata api, acap kali dilakukan para siswa yang memang kebanyakan anak dari orangtua-orangtua yang bertugas sebagai TNI.

Pintar, karena memang sekolah ini merupakan sekolah unggulan. Siswa SMP sangat ingin masuk ke sekolah ini. Aktif di organisasi atau bidang lain, karena sekolah ini banyak dihuni oleh artis maupun atlet. Anak orang kaya, karena memang sekolah ini incaran para pengusaha, pejabat untuk menyekolahkan anaknya. Sedangkan siswa bandel, karena sebagai "anak kolong" sulit untuk tidak duel di luar rumah.

Untuk diketahui saja, alumni SMA I termasuk anak-anak mantan Presiden Suharto, yakni Tutut, Sigit, dan Bambang. Titik ke bawah sampai Tommy tidak sekolah di sini. Dari kalangan artis ketika itu, seperti Vony Pawaka, Ratu Indonesia ketika itu, keluarga Erningpraja, dan banyak lagi. Untuk kalangan atlet, sebut misalnya pelari nasional Irawati, petenis meja Faisal Rahman dan Farid Rahman, serta Verawaty Fajrin. "Bapak-bapak" geng yang berkeliaran pada masa itu hampir seluruhnya berasal dari sekolah ini.

Untuk kalangan SMA ketika itu, SMA I sangat ditakuti. Kalau tanding olahraga, kalau tandingnya hanya dengan SMA, psywar di dalam maupun di luar gedung sering dilakukan. Mereka lawannya adalah tetangga sendiri, STM I. Sering berantem tinggal naik tembok lempar-lempar batu dan menabrakan mobil ke kerumunan, dan sebagainya.

Kepala sekolah kami yang cukup dikenal ketika itu adalah bapak Jamalus. Ia menjadi kepsek favorit. Biar galak tapi dia mengizinkan murid-murid berambut gondrong. Taks egan-segan kalau ada murid yang tidak disiplin dan nakal, ia hukum sekalipun itu anak pejabat. Bahkan kabarnya ia pernah dipanggil ke Cendana ke rumah Presiden Suharto karena menghukum salah satu anak Presiden.

Tak ayal, ketika ada pergantian kepala sekolah dari Jamalus ke Pak Joelioes Joesoef (saya masih ingat penulisan namanya yang memakai ejaan lama), banyak murid yang protes hingga ada yang dikeluarkan. Mereka menolak kedatangan Pak Joelioes yang dari SMA 12 Kelender itu.

Tapi, lama kelamaan kami akrab dengan kepsek yang rapi ini. Apalagi karena saya aktif dalam organisasi sekolah.

Aktif organisasi, tentu diperuntukkan untuk anak-anak yang giat dengan kegiatan OSIS. Ekspresi diri benar-benar terwujud di masa ini. Saya termasuk satu di dalamnya. Kelas I saya sudah menggeluti kegiatan OSIS.

Tapi, kalau ingat sekarang menjadi lucu. Sebab kegiatan yang saya masuki adalah baris berbaris, teristimewa adalah menjadi dirijen jika ada upacara sekolah yang dilakukan setiap Senin dan Sabtu. Murid laki-laki menjadi dirijen dan itu saya lakukan bergantian bersama James Lapian, yang pernah menjadi anggota Pancaran Sinar Petromak (PSP), grup band mahasiswa UI yang terkenal lewat lagu-lagu ngebanyolnya. Setelah di Tempo, dia aktif sebagai wartawan untuk BBC. Isterinya juga sama-sama angkatan 76, Tiwi namanya.

Dari kegiatan kepramukaan saya aktif dalam teater. Pada saat aktif bersama Widyantoro (sekarang dosen di Universitas Sebelas Maret Solo), Jamilah Ferosida (istri Coki Situmorang/sutradara), dan Nagiah Shahab (guru di SMU 68 Jakarta), kami mendirikan Teater Satu. Teater ini disutradari oleh M.Nizar, paman dari Jamilah.

Teater Satu aktif dalam berbagai pementasan dan lomba, di panggung maupun di TVRI (satu-satunya stasiun televisi ketika itu). Sampai saya tinggalkan dan kini alumninya ada yang menjadi artis beneran, yaitu Cicie Tegal.

Selain teater, saya menerbitkan majalah sekolah bersama Ade Latif (satu kelas di bawah saya) dan geng saya ketika itu Edy Suryadi dan Tito. Dua rekan saya itu diterima dan kuliah di UI, sementara saya tidak mengikuti penerimaan mahasiswa baru di universitas negeri (waktu itu namanya Skalu). Saya langsung mendaftar di Sekolah Tinggi Publisistik yang ketika itu masih berkampus di SMA Kanisius, Cikini. Sampai sekarang saya kehilangan jejak Edy yang memakai nama kesukaan ketika itu Ed Astair, dan Tito dengan Joseph Broztito-nya. Di manakah kau berada lelaki Perkasa (Perlu Kasih Sayang)?

Kamis, 22 November 2007

Tua-Tua Kuliah

Tua-tua kuliah. Inilah yang saya rasakan ketika memutuskan untuk kuliah lagi. Pada tahun 2004, pendidikan terakhir saya cuma sarjana muda, jebolan dari Sekolah Tinggi Publisistik yang sekarang ini bernama Institut Ilmu Sosial dan Politik. Itu yang bekas rektornya yang cukup dikenal oleh wartawan, H.M Hoetasoehoet, dan kampusnya dijuluki "Kampus Tercinta".

Saya nggak sampai sarjana, padahal waktu itu sudah tinggal skripsi. SKS sudah 154. Begitu akan membuat skripsi dan masalah pokok sudah ditentukan, eh keranjingan kerja di Majalah Hai Kelompok Kompas Gramedia. Pendek kata dari 1986 hingga 2004, bablas nggak pernah ke kampus yang terletak di Lenteng Agung itu.

Reformasi di negeri ini, terjadi juga di dalam diri saya. Berpikiran untuk sekolah lagi. Orang bilang pengalaman bekerja yang sudah hampir 20 tahun waktu itu sudahlah bisa dianggap sarjana. Tapi, saya mau legalitas. Ikut kuliah ambil yang kelas eksekutif. Di hitung-hitung jumlah SKS, kuliahnya jadinya cuma setahun di Universitas Surapati. Kampus di Cawang, tapi saya kuliah di Bidakara.

Masuk perdana, dikira dosen. Padahal yang mengira dosen, usianya juga nggak jauh beda dengan saya. Beraneka ragam teman di kelas. Ada ibu-ibu, gadis, bapak-bapak, ada juga anak muda yang baru lulus SMU. Lucu, geli, tapi saya jalanin dengan serius.

Diskusi di kelas, ujian, bikin paper, bikin skripsi, dan akhirnya sidang saya lakoni. Wisudanya sendiri berlangsung di Halim dan ratusan mahasiswa yang mengikutinya.

Belum keluar ijazah S-1, mencoba ikut tes masuk Magister Manajemen Universitas Gajah Mada. Untuk kuliah S-2 ini saya memang sudah bulatkan tekad untuk serius. Tak dinyana dua tes di MM UGM ini (TPA dan Toefl) saya lalui dengan mulus. Jadilah saya mulai tahun 2005 berpredikat mahasiswa MM UGM.

Kampusnya bukan yang di Kaliurang, Yogyakarta, melainkan yang di Gondangdia, Cikini, Jakarta, atau di bekas Gedung Bapindo dulu. Saya menjadi mahasiswa kelas Akhir Pekan (AP). Artinya, kuliahnya hanya pada hari Sabtu dan Minggu, dimulai pada pukul 08.00 WIB sampai pukul 20.00 WIB. Kelas lain juga ada, yaitu kelas eksekutif, waktu kuliahnya setiap malam.

Aha, kelas AP, kelas jauh, atau kelas apalah, sering memang menjadi olok-olok. Tapi, juga ada yang mengagumi, kok saya bisa lulus tes? Masuk pertama kali di kelas beraneka ragam latar belakang dan usia. Untuk usia, saya nomor dua dari yang paling tua. Yang lain rata-rata di bawah usia 40 tahun. Bahkan ada yang baru luluar S1. sedangkan untuk beckground pendidikan macam-macam, ada dari UI, UGM, Unpad, Unand, Unair, Unsri, Unsu, IPDN, Sekolah Tinggi Telkom, dan banyak lagi.

Mereka rata-rata sudah bekerja dan beraneka ragam bidang. Ada yang direktur bank, sekuritas, manajer bank pemerintah, bank swasta, direksi perusahan pupuk, asuransi, dan banyak lagi. bahkan ada yang dari partai, yaitu PKS. Hanya satu yang berprofesi sebagai wartawan, ya saya. Apalagi wartawan olahraga, nggak ada selain saya. Kebetulan di antara mereka ada yang mengenali saya melalui liputan sepakbola maupun tampilan sebagai komentator di televisi. Begitu pula dengan dosen-dosen, banyak yang menyukai sepakbola. Komunikasi awal sering nyambung.

Namun, sering juga nggak nyambung kalau sudah mengupas materi kuliah. Saya benar-benar "dicuci otak". Dari pergaulan liputan olahraga puluhan tahun, hingga selama dua tahun disusupi berbagai persoalan dengan dasar manajemen ekonomi, otak saya benar-benar direformasi.

Bedah bisnis, bedah kasus perusahaan, diskusi dengan berbagai doktor maupun profesor ekonomi, presentasi, riset bisnis, statistik, analisis keuangan, dilalui berjam-jam di hari yang kebanyakan orang hari libur dan dengan mata yang sering tidak tahan ngantuknya, sampai akhirnya pada 24 November lalu, kuliah saya benar-benar usai. Yang tinggal kini adalah tesis. IPK saya terbilang lumayan, sudah tembus 3,5. Tesis yang sedang saya rampungkan berjudul: "Formulasi Strategi Tabloid BOLA dalam Industri Media Cetak Olahraga."

Saya ambil tema itu biar lebih efisien dan efektif. Pengalaman 18 tahun di Tabloid BOLA rasanya menjadi bekal yang berharga buat memperlancar proses pembuatan tesis yang saya rencanakan selesai bulan Desember ini.

Belum selesai tesis, saya sudah ancang-ancang untuk ambil S-3. Doain, ya. Saya sudah kalah usia, makanya saya mau ambil jalan tol. Biar pensiun nanti lebih berkualitas. Tidak melulu mengandalkan belas kasihan anak-anak. Perjalanan manusia memang sering tak terduga.